WAHABI TIDAK AMANAH MENYAMPAIKAN
ILMU
Oleh: Syaikh Idahram
Para ulama Fikih mendefinisikan Makruh atau Karohah seperti itu bukan tanpa dalil, tetapi merujuk kepada
hadis-hadis Nabi s.a.w., contohnya seperti hadis ini: “Sesungguhnya Allah
memakruhkan bagi kalian (kariha lakum) kesia-siaan dalam shalat, perkataan
jorok saat puasa dan tertawa di kuburan.” (HR. asy-Syihab dan Abdullah ibnu
Mubarak).[1] Juga hadis shahih berbunyi:
إِنَّ اللَّهَ
عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوقَ الْأُمَّهَاتِ وَوَأْدَ الْبَنَاتِ وَمَنْعًا
وَهَاتِ وَكَرِهَ لَكُمْ ثَلَاثًا قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةَ
الْمَالِ.
(رواه البخاري ومسلم)
“Sesungguhnya Allah s.w.t. mengharamkan atas kalian durhaka kepada
ibu, menguburkan hidup-hidup anak perempuan, dan tidak suka memberi namun suka
meminta-minta. Dan memakruhkan bagi kalian tiga perkara: desas-desus,
banyak bertanya (yang tidak perlu) dan menghambur-hamburkan harta.” (HR.
Bukhari dan Muslim)[2]
Dari hadis di atas sangat jelas,
Nabi s.a.w. membedakan antara kata “haram”
dengan kata “makruh/karohah.”
Bagaimana jadinya, jika hukum talak/mencerai isteri yang makruh diartikan
haram? Berapa juta orang yang telah melakukan keharaman? Sungguh dengan itu
Wahabi telah mengbok-obok syariat dan menjadi sumber fitnah di tengah umat
Islam!
Namun,
nampaknya Firanda menutupi kebenaran itu dan sengaja menyelewengkannya. Atau
barangkali, dia sendiri tidak paham tentang istilah-istilah itu dalam
ilmu Fikih, berhubung kuliahnya di jurusan Dakwah bukan jurusan Syariah (Fikih).
Jika tidak mengerti tentang Fikih, hendaknya jangan banyak bicara
tentang hukum, karena bisa mudah tergelincir. Jika fondasi dasarnya saja sudah
rapuh, maka apa yang dibangun di atasnya menjadi jauh lebih rapuh dan sangat
berbahaya, karena bisa menelan banyak korban tersesat.
Dusta ketiga, karena
didorong oleh rasa penasaran, benar engga’
sih Mazhab Syafii seperti itu dalam kitab Imam Nawawi. Setahu kami
tidak begitu. Moso’ para pengikutnya
justru bertolak belakang dengan nasehat para ulamanya!
Maka,
setelah kami mengecek kitab yang sama
yaitu kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab
karya Imam Nawawi, astagfirullaah… justru kami mendapati penjelasan yang berbeda dengan klaim Firanda. Jusru Imam Nawawi berkata dalam
kitabnya itu begini:
“Pengarang (Abu Ishaq asy-Syirazi) rahimahullah berkata, ‘Dan tidak shalat di kuburan karena adanya
riwayat dari Abu Said r.a. bahwa Nabi s.a.w. bersabda: ‘Bumi semuanya masjid
kecuali kuburan dan kamar mandi.’ Maka jika dia shalat di kuburan,
[dilihat (dahulu), jika kuburannya] sering terbongkar yang di
dalamnya ada najis, (maka) tidak sah shalatnya, karena cairan mayat sudah
bercampur dengan tanah. Jika kuburannya
baru (dan) tidak terbongkar, (maka) shalatnya di kuburan makruh, karena kuburan itu tempat terkubur najis, adapun (hukum)
shalatnya sah. Karena yang melakukan shalat (dalam keadaan) suci. Dan jika
ragu-ragu, apakah terbongkar atau tidak? Maka dalam hal ini ada dua pendapat,
salah satunya tidak sah shalatnya. Karena hukum asalnya adalah, adanya
kewajiban dalam tanggung jawabnya dan dia ragu-ragu dalam menggugurkannya.
Sedangkan kewajiban tidak (bisa) digugurkan dengan ragu-ragu. Pendapat kedua,
(shalatnya) sah. Karena hukum asalnya adalah, sucinya bumi, maka tidak (bisa)
dihukumi kenajisannya dengan ragu-ragu.
Adapun hukum masalah ini adalah, jika didapati kuburannya
terbongkar, maka tidak sah shalatnya di kuburan, tanpa diperselisihkan, (itu
pun) jika tidak dialasi di bawah (tempat shalat)nya sesuatu. Jika didapati tidak terbongkar, maka sah
shalatnya, tanpa diperselisihkan, namun makruh
karahah tanzih. Dan jika ragu dalam masalah terbongkarnya, maka ada dua
pendapat: Yang paling benar dari
keduanya adalah, sah shalatnya namun makruh. Pendapat kedua, tidak sah (karena terdapat najis).
Demikianlah Jumhur Ulama menyebutkan perbedaan pendapat dalam masalah terakhir
ini ada dua pendapat, sebagaimana telah disebutkan pengarang di sini. Di antara
ulama yang menyebutkannya adanya dua pendapat adalah, asy-Syaikh
Abu Hamid, al-Qadhi Abu ath-Thib dalam Ta’liqnya, al-Muhamili, asy-Syaikh Abu Ali al-Bandaniji, pengarang
kitab asy-Syamil, ulama-ulama Irak
dan mayoritas ulama-ulama Khurasan. Juga, dua pendapat ini telah dinukil oleh
beberapa ulama di antaranya pengarang at-Tanbih
dan pengarang al-Hawi. Dia berkata dalam al-Hawi:
Yang berpendapat sah adalah Ibnu Abu Hurairah, sedangkan tidak sah adalah pendapat Abu Ishaq. Yang benar
adalah, jalan orang yang mengatakan ada dua pendapat. Pengarang asy-Syamil berkata, telah berkata dalam al-Umm: tidak sah, dan telah berkata
dalam
al-Imla: sah, dan para ulama Syafi’i telah
sepakat bahwa, yang paling benar adalah sah shalatnya. Dengan pendapat ini
al-Jarjani memutuskan (hukumnya) dalam kitab at-Tahrir. Para ulama kami berkata: makruh (hukumnya) shalat ke
(arah) kuburan, demikian mereka mengatakan makruh. Seandainya dikatakan: haram
karena adanya hadis Abu Martsad dan lainnya sebagaimana (penjelasannya) telah
berlalu tidak jauh, pengarang at-Tatimmah
berkata: Adapun (yang haram adalah) shalat di kepala kuburan Rasulullah s.a.w.
dengan menghadap kepadanya maka haram.”[1]
Namun
anehnya, karena kekeraskepalaannya, Firanda malah memaksakan
pendapatnya yang keliru itu dengan berkata:
“Peringatan: Sebagian pemakmur kuburan berdalil, dengan apa yang
termaktub dalam kitab Roudhoh at-Thoolibiin karya Imam An-Nawawi, sebagaimana
berikut ini:
‘Boleh bagi seorang muslim atau
seorang kafir dzimmi untuk berwashiat untuk mengurus (*membangun) al-masjid
al-aqsho dan masjid-masjid yang lainnya, dan juga untuk membangun kuburan para
nabi, para ulama, dan sholihin, karena hal itu menghidupkan ziaroh dan
bertabarruk dengan kuburan-kuburan tersebut.’ (Roudotut Thoolibiin, tahqiiq :
Adil Ahmad Abdul Maujuud dan Ali Muhammad Mu’awwadl. Cetakan Daar ‘Aalam
al-Kutub, juz 5 hal 94)
Kalau kita
perhatikan di dalam perkataan Imam An Nawawi terkesan diperbolehkan bertabarruk
(mencari barokah) dari kuburan. Maka
apakah hal ini membatalkan kesepakatan Imam As-Syafii dan para ulama besar
syafiiyah yang telah dinukil An-Nawawi dalam Al-Majmuu’?? Jawabannya tentu adalah tidak.”
Begitulah tabiat kaum Salafi Wahabi,
sudah salah ngotot lagi. Bukannya
dia mikir dan berlapang dada, tetapi malah merasa paling benar, bahkan berani berbohong
dalam menyalahkan orang lain! Maasyaa
Allaah…
[1]
Hadis Marfu riwayat asy-Syihab al-Qadha’i dalam Musnadnya dan Abdullah ibnu
Mubarak dalam kitab az-Zuhd wa ar-Raqa`iq.
[2]
Shahih Bukhari, pada pembahasan Apa yang Dilarang dari Menghambur-hamburkan
Harta, jilid 8 hal. 251, no. 2231. Shahih Muslim, pada pembahasan Larangan dari
Banyak Bertanya Tanpa Kebutuhan, jilid 9 hal. 110, no. 3237. (Maktabah
Syamilah).
0 komentar:
Posting Komentar