APA ITU SALAFI?
Oleh: Syaikh Idahram
(dinukil dari buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi)
1.
Mengenal Salafi
Apa Itu Salafi? Kata Salafi adalah sebuah bentuk penisbatan kepada as-Salaf. Kata as-Salaf
sendiri secara bahasa bermakna orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum
zaman kita.[1]
Adapun makna terminologis as-Salaf adalah
generasi yang dibatasi oleh sebuah penjelasan Rasulullah s.a.w. dalam hadisnya, “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup)
di masaku, kemudian yang mengikuti mereka (at-Tâbi’în), kemudian yang
mengikuti mereka (Tâbi’ at-Tâbi’în).” (HR. Bukhari
dan Muslim dalam shahihnya).
Berdasarkan hadis ini, maka yang
dimaksud dengan as-Salaf adalah para sahabat Nabi s.a.w., kemudian at-Tâbi’în (pengikut Nabi setelah masa Sahabat), lalu Tâbi’ at-Tâbi’în (pengikut Nabi
setelah masa at-Tâbi’în), termasuk
di dalamnya para Imam Mazhab. Karena mereka semua hidup di tiga abad pertama sepeniggal Rasulullah s.a.w.
Oleh karena itu, ketiga kurun ini kemudian dikenal juga
dengan sebutan al-Qurûn al-Mufadhdhalah (kurun-kurun
yang mendapatkan keutamaan).[2] Sebagian ulama
kemudian menambahkan label as-Shalih –sehingga menjadi as-Salafu sh-Shâlih– untuk
memberikan karakter pembeda dengan pendahulu kita yang lain yang dikenal dengan al-Khalaf
(orang-orang yang datang setelahnya).[3] Sehingga
seorang Salafi berarti
seseorang yang mengaku mengikuti jalan
para sahabat Nabi s.a.w., at-Tâbi’în dan Tâbi’ at-Tâbi’în dalam seluruh
sisi ajaran dan pemahaman mereka.[4]
Sampai di sini tampak jelas, sebenarnya
tidak ada masalah dengan arti salafi ini, karena pada dasarnya setiap muslim
akan mengakui legalitas kedudukan para sahabat Nabi s.a.w. dan dua generasi
terbaik umat Islam sesudahnya itu; at-Tâbi’în dan Tâbi’ at-Tâbi’în. Atau dengan
kata lain, seorang muslim
manapun sebenarnya sedikit-banyak memiliki kadar kesalafian dalam dirinya
meskipun ia tidak pernah menggembar-gemborkan pengakuan bahwa ia seorang salafi. Karena, maksud dari salafi itu sendiri sebenarnya adalah Islam.
Begitu juga dengan pengakuan kesalafian seseorang, tidak pernah dapat menjamin bahwa yang bersangkutan benar-benar telah mengikuti para as-Salafu sh-Shâlih. Ini sama persis
dengan pengakuan kemusliman siapapun yang terkadang lebih sering berhenti pada
taraf pengakuan belaka.
Namun
demikian, saat ini penggunaan istilah Salafi menjadi tercemari. Karena propaganda
yang begitu gencar, istilah Salafi mengarah kepada kelompok gerakan Islam
tertentu, di mana kelompok tersebut getol melakukan klaim dan mengaku-aku
sebagai satu-satunya kelompok Salaf. Terlebih lagi, dalam prakteknya, mereka
cenderung menyimpang dari ajaran Islam yang benar yang dianut oleh mayoritas
umat Islam dari sejak masa Rasulullah s.a.w. hingga saat ini.
Dari kenyataan
semacam itu, muncul banyak pertanyaan untuk kaum yang satu ini, di antaranya, apakah
benar akhlak Salaf dahulu seperti itu?
2.
Salafi’ Nama Lain dari Wahabi
Siapakah sebenarnya kelompok yang mengklaim sebagai ‘Salafi’ yang akhir-akhir ini mulai marak? Dahulunya, kelompok
yang sekarang mengaku-aku sebagai Salafi ini dikenal dengan nama Wahabi. Tidak ada perbedaan antara Salafi yang ini dengan Wahabi. Kedua
istilah itu ibarat dua sisi pada sekeping mata uang. Satu dari sisi keyakinan, dan padu dari segi pemikiran. Sewaktu di Jazirah Arab mereka
lebih dikenal dengan Wahhâbiyah
Hanbaliyah. Namun, ketika diekspor keluar Saudi, mereka
mengatasnamakan dirinya dengan ‘Salafi’, khususnya
setelah bergabungnya Muhammad Nashiruddin al-Albani, yang mereka pandang
sebagai ulama ahli hadis.[5]
Pada hakikatnya
mereka bukanlah Salafi atau para pengikut Salaf. Mereka lebih tepat jika
disebut Salafi Wahabi, yakni pengikut Muhammad ibnu Abdul Wahab
yang lahir di Uyainah, Najd,[6] Saudi Arabia tahun 1115 Hijriyah (1703 Masehi) dan wafat tahun
1206 Hijriyah (1792 Masehi). Pendiri Wahabi ini sangat mengagumi Ibnu Taimiyah, seorang ulama
kontroversial yang hidup di abad ke-8 Hijriyah dan banyak mempengaruhi cara
berpikirnya.[7]
Wahabi berganti baju
menjadi Salafi atau terkadang “Ahlussunnah” –yang seringnya–
tanpa diikuti dengan kata “wal Jamaah”,
karena mereka merasa risih
dengan penisbatan tersebut dan mengalami banyak kegagalan dalam dakwahnya. Sebagaimana itu diungkapkan oleh Prof. Dr. Sa’id Ramadhan al-Buthi
dalam bukunya, as-Salafiyah Marhalah Zamaniyah Mubarakah La Madzhab Islami. Dia mengatakan bahwa, Wahabi merubah strategi dakwahnya
dengan berganti nama menjadi “Salafi” karena mengalami banyak kegagalan dan
merasa tersudut dengan panggilan nama Wahabi yang dinisbatkan kepada
pendirinya, yakni Muhammad ibnu Abdul Wahab.[8] Sebagian kaum muslimin menamakan mereka dengan Salafi Palsu
atau Mutamaslif.[9]
Untuk menarik
simpati umat Islam, Wahabi berupaya
mengusung flatform dakwah yang sangat terpuji yaitu, memerangi syirik, penyembahan
berhala, pengkultusan kuburan, dan membersihkan Islam dari bid’ah dan khurafat.[10] Namun mereka salah kaprah dalam
penerapannya, bahkan dapat dibilang, dalam
banyak hal mereka telah keluar dari ajaran Islam itu sendiri.[11]
Tidak ada satupun riwayat shahih yang sampai kepada kita
menerangkan bahwa, ada diantara para sahabat Nabi s.a.w., ulama salaf dan imam-imam
mujtahid (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Ahmad ibnu Hanbal, Imam
Tsauri dan lainnya) yang menyebut diri mereka dan para pengikutnya sebagai
kelompok Salafi, hingga para Imam ahli hadis sekalipun –seperti Imam Bukhari,
Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi, dan yang lainnya–, tidak ada
yang menyebut dirinya sebagai Salafi.
Sebagai sebuah
bahasa, kata “salaf” –yang berarti pendahulu– sudah lama muncul dalam khasanah
perbendaharaan kata dalam agama Islam, bahkan sejak zaman Nabi s.a.w., tetapi
tidak untuk arti “sekelompok orang yang memiliki keyakinan sama” atau sebuah
mazhab dalam Islam. Sebagai contohnya, lihat saja misalkan ucapan salam yang
diajarkan Nabi s.a.w. kepada umatnya saat berziarah kubur yaitu, “Assalâmu’alaikum yâ ahla l-qubûr
yaghfirullâhu lana wa lakum antum salafunâ wa nahnu bi l-atsar”
(keselamatan untuk kalian wahai ahli kubur, semog Allah mengampuni kami dan
kalian, kalian adalah para pendahulu kami, sedangkan kami nanti pasti
akan menyusul). (HR. Tirmidzi dan Thabarani).[12] Dalam hadis ini tertera kata “salaf” yang artinya
“para pendahulu”.
Adapun awal mula
munculnya istilah “Salafy” adalah di
Mesir, setelah usainya penjajahan Inggris. Tepatnya saat muncul gerakan
pembaruan Islam (al-ishlah ad-dini)
yang dipimpin oleh Jamaluddin al-Afghani dan muridnya; Muhammad Abduh di akhir
abad 19 Masehi, yang dikenal dengan gerakan Pan Islamisme. Maka untuk menumbuhkan
rasa patriotisme dan fanatik yang tinggi terhadap perjuangan umat Islam saat
itu dalam rangka membendung pengaruh sekulerisme, penjajahan dan hegemoni Barat
atas dunia Islam, Muhammad Abduh mengenalkan istilah “Salafy”.[13] Namun salafiyah
Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha ini sangat berbeda
dengan salafiyah-nya Wahabi.
Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha mengajak kepada persatuan dan
kebangkitan peran umat Islam, sedangkan Wahabi mengajak kepada perpecahan dan
kehancuran umat Islam.
Lalu dari
manakah munculnya istilah “Salafy”
untuk menggelari “orang yg mengklaim dirinya sebagai satu-satunya penerus
ajaran as-Salafu sh-Shâlih”, yakni
para Sahabat, Tâbi’în dan Tâbi’ Tâbi’în? Yang jelas bukan dari
Sahabat Nabi s.a.w. dan para Ulama Salaf terdahulu, hingga para imam ahli hadis
sekalipun. Melainkan Nashiruddin Albani-lah yang pertama kali mempopulerkan
istilah ini, sebagaimana terekam dalam sebuah dialognya antara Albani dengan
salah satu pengikutnya yaitu Abdul Halim Abu Syuqqah pada bulan Juli 1999 M/Rabiul
Akhir 1420 H.[14]
Seiring dengan
kelihaiannya dalam ‘mengaduk-aduk’ hadis, Albani sebagai pendatang baru di
ranah Wahabi, juga lihai dalam meracik nama baru untuk me-refresh dan meremajakan paham yang kian memiliki image negatif di dunia Islam itu. Dia
sangat berjasa bagi kelanjutan dakwah Salafi Wahabi dengan ide salafinya itu,
yang sebelumnya dikenal dengan nama Wahabi.
Pertanyaannya,
bukankah penggunaan istilah Salafi seperti itu juga adalah hal baru dalam agama
alias bid’ah, suatu kata yang selalu
mereka dengang-dengungkan dalam menghantam umat Islam? Apakah label bid’ah
hanya berlaku untuk selain mereka, sedangkan untuk mereka tidak?
3.
Sekilas tentang
Wahabi dan Pendirinya
Pendiri Wahabi, Ibnu Abdul Wahab (1703-1792 Masehi)
Sekte
Wahabiyah ini dinisbatkan kepada Muhammad ibnu Abdul Wahab ibnu Sulaiman
an-Najdi. Lahir tahun 1115 Hijriyah (1703 Masehi) dan wafat tahun 1206 Hijriyah
(1792 Masehi). Dia wafat di
usia sangat tua, dengan umur 91 tahun.
Belajar ilmu
agama dasar bermazhab Hanbali dari ayahnya yang juga seorang qhâdi (hakim).[15] Pernah mengaji kepada beberapa guru agama Mekkah
dan Madinah, seperti Syaikh Muhammad ibnu Sulaiman al-Kurdi, Syaikh Muhammad
Hayat as-Sindi, dan lainnya. Kemudian dia berangkat ke Bashrah, namun kembali
lagi karena ditolak menjadi murid.[16]
Pengetahuan
agamanya kurang memadai, karena dia belajar ilmu agama hanya dari segelintir
guru, termasuk ayahnya sendiri, dalam waktu yang sangat minim dan
terputus-putus. Kenyataan ini diakui beberapa ulama Wahabi, di antaranya Dr.
Muhammad al-Mas’ari dalam bukunya yang berjudul al-Kawâsyif al-Jaliyyah fi Kufri d-Daulah as-Su’ûdiyyah (Terang Benderangnya Kekufuran Negara
Saudi), pada lampiran pertamanya tentang Tasâ`ulât haula sy-Syar’iyyah (Pertanyaan seputar Syariat) ketika
dia menyinggung kondisi awal berdirinya negara Saudi Arabia. Dalam bukunya itu dia menyatakan, sebelum ‘bersekongkol’ dengan
keluarga Saud dan Inggris untuk memberontak dari kekhalifahan Turki Utsmani, Ibnu
Abdul Wahab layaknya ‘ustadz kampung’ yang tidak menonjol, biasa-biasa saja,
dan bahkan tidak diperhitungkan. Dia tidak dikenal sama sekali ketokohan dan
keulamaannya oleh para ulama yang sezaman dengannya.[17] Kenyataan seperti ini juga diakui oleh ulama-ulama
Wahabi. Dalam buku mereka yang menjadi rujukan kaum Salafi Wahabi, ad-Durar
as-Saniyyah,[18] disebutkan:
"ومحمد بن عبد الوهاب
رحمه الله ما ادعى إمامة الأمة، وإنما هو عالم دعا إلى الهدى، وقاتل عليه ولم يلقب
في حياته بالإمام، ولا عبد العزيز بن محمد بن سعود، ما كان أحد في حياته منهم يسمى
إماما، وإنما حدث تسمية من تولى إماما بعد موتهما."
“Muhammad ibnu Abdul
Wahab rahimahullah tidak pernah mengaku sebagai imam umat ini. Dia
hanyalah seorang alim yang mengajak kepada ‘hidayah’, berperang untuk itu, dan semasa
hidupnya tidak pernah digelari sebagai imam. Begitu juga dengan Abdul Aziz
ibnu Muhammad ibnu Saud, tidak ada seorang pun semasa hidupnya yang menyebutnya
imam. Adapun penamaan imam dberikan oleh orang yang hidup setelahnya.”[19]
Sebaliknya,
karena keyakinan menyimpangnya itu, kakaknya yang bernama Sulaiman ibnu Abdul
Wahab mengritik pahamnya yang nyleneh
dengan begitu pedas, melalui dua bukunya ash-Shawâ’iq
al-Ilâhiyah fi ar-Radd ‘ala al-Wahhabiyah[20] dan kitab Fashlu
l-Khitâb fi r-Raddi ‘ala Muhammadi bni Abdil Wahhâb. Dua bukunya itu dirasa
penting untuk dia tulis, melihat adiknya yang sudah jauh menyimpang dari ajaran
Islam dan akidah umat secara umum, terlebih lagi dari paham Mazhab Imam Ahmad
ibnu Hanbal, Mazhab Ahlussunnah wal Jamaah ke empat yang banyak dianut oleh
penduduk Najd, Saudi Arabia, pada masa itu.[21]
Selain itu,
Ibnu Abdul Wahab juga gemar membaca berita dan kisah-kisah para pengaku
kenabian, seperti Musailamah al-Kadzdzab, Sajah, Aswad al-Unsi dan Thulaihah
al-Asadi. Sejak masa studinya yang singkat itu, telah tampak darinya gelagat
penyimpangan besar, sehingga ayahnya dan para gurunya mengingatkan masyarakat
akan bahaya penyimpangannya. Mereka bertutur, “Anak ini akan tersesat dan akan menyesatkan banyak orang yang Allah
sengsarakan dan jauhkan dari rahmat-Nya!”[22]
Tokoh ulama
terkenal, seorang Mufti Mekkah yang hidup sezaman dengannya yaitu Muhammad ibnu
Humaid,[23] juga tidak pernah memasukkan nama Ibnu Abdul Wahab
di dalam jajaran ulama Hanabilah ketika dia menyebutkan sedikitnya ada 800 nama
ulama dan tokoh Mazhab Hanabilah pada masa itu. Padahal Mufti tersebut turut
memasukkan nama ayahnya yakni Abdul Wahab, dalam jajaran para ulama dan tokoh
Mazhab Ahmad ibnu Hanbal, bahkan memuji kadar keilmuannya. Dia juga menjelaskan
bahwa, ayah Muhammad ibnu Abdul Wahab sangat jengkel kepada anaknya itu dengan
mengatakan:
يَا مَا تَرَوْنَ مِنْ مُحَمَّدٍ مِنَ الشَّرِّ،
فَقَدَّرَ اللهُ أَنْ صَارَ مَا صَارَ
“Kalian akan
melihat kejahatan yang akan dilakukan oleh Muhammad ibnu Abdul Wahab. Allah
telah mentakdirkan yang akan terjadi pasti terjadi.” [24]
Pada tahun
1143 H Ibnu Abdul Wahab mulai menampakkan dakwahnya terhadap aliran barunya
itu, akan tetapi ayahnya bersama para masyaikh dan guru-guru besar di
sana berdiri tegak menghalau kesesatannya itu. Mereka menbongkar kebatilan
ajakannya, sehingga dakwahnya tidak laku. Barulah ketika ayahnya wafat pada
tahun 1153 H, ia mulai leluasa untuk menebar kembali ‘pesona’nya. Ia
menyuarakan kembali ajakannya di kalangan para awam yang lugu dan tak tau
banyak tentang agama, sehingga mereka dengan mudah mau mengikuti ajakannya dan
mendukungnya. Ibnu Bisyr –sejarawan Wahabi tulen– dalam kitabnya Unwan
al-Majd berkata:
"فلما أن الشيخ محمد
وصل إلى بلد حريملا أخذ يقرأ عليه، وينكر ما يفعل الجهال من البدع والشرك في الأقوال
والأفعال، وكثر منه الإنكار لذلك، ولجميع المحظورات، حتى وقع بينه وبين أبيه كلام،
وكذلك وقع بينه وبين أناس في البلد، فأقام على ذلك مدة سنين حتى توفي أبوه عبدالوهاب
في سنة ثلاث وخمسين ومائة وألف، ثم أعلن بالدعوة."
“Setibanya
Muhammad ibnu Abdul Wahab di kampungnya, Huraimila, dia bersitegang dengan
ayahnya dan mengingkari apa yang dilakukan oleh orang-orang jahil (baca: umat
Islam) berupa bid’ah dan syirik dalam ucapan dan perbuatan, dan
pengkafiran-pengkafiran lainnya, hingga
terjadi perang mulut antara dirinya dengan ayahnya. Kekisruhan yang sama
juga terjadi antara dirinya dengan warga kampungnya selama bertahun-tahun,
sehingga ayahnya wafat tahun 1153 H. Setelah itu, dia mengikrarkan dakwahnya.”[25]
Atas tragedi
itu, para ulama mencap Ibnu Abdul Wahab sebagai anak durhaka. Terlebih, ayah
kandungnya yang seorang qadhi, pakar ilmu Fikih Mazhab Hanbali, dan paham
betul tentang ajaran Islam serta seluk-beluk masyarakatnya, telah membantah
keyakinan sesat anaknya itu yang telah menuduh umat Islam melakukan bid’ah dan
syirik. Lalu siapakah sebenarnya yang lebih alim? Orang yang selalu ditolak
menjadi murid dalam belajar atau qhadi yang mengerti hukum?!
Atas kehadiran sekte sempalan ini, masyarakat di
Huraimila bangkit dan hampir-hampir membunuhnya. Kemudian ia melarikan diri ke
kota Uyainah. Di sana ia merapat kepada Emir kota tersebut dan menikahi
gadis dari salah seorang kerabatnya. Dari sanalah dia memulai kembali dakwah
pembid’ahan yang ia cetuskan itu. Namun tidak lama kemudian, masyarakat Uyainah
pun keberatan dengan ajakannya, sehingga mereka juga mengusirnya dari kota
tersebut. Lalu ia pergi meninggalkan Uyainah menuju Dir’iyah di sebelah timur
kota Najd, sebuah daerah yang dahulu didiami oleh Musailamah al-Kadzdzab yang
mengaku-ngaku sebagai nabi palsu.
Muhammad Ibnu Saud (1710–1765 Masehi)
Di kota tersebut, ia mendapat dukungan penuh dari Emirnya yaitu
Muhammad ibnu Sa’ud, sehingga sebagian warga masyarakat di sana pun menyambut
ajarannya dengan hangat. Saat itu ia bertingkah seperti seorang mujtahid
agung. Ia tidak pernah menghiraukan pendapat para imam dan ulama terdahulu,
maupun yang sezaman dengannya. Sementara itu, semua tahu bahwa ia sangat tidak
layak untuk mensejajarkan dirinya di barisan para ulama mujtahidin.[26]
Demikianlah
apa yang disifati oleh saudara kandungnya, seorang alim besar bernama Syaikh
Sulaiman ibnu Abdul Wahab dalam buku bantahannya tersebut. Sebagai kakak
kandung, ia tahu persis bagaimana prilaku dan kondisi adiknya itu. Dalam
bukunya itu, Syaikh Sulaiman menggambarkan bagaimana prilaku buruk adiknyanya
itu yang menurutnya sesat dan menyimpang dari ajaran Islam. Di antaranya beliau
menyatakan:
"اليوم
ابتلى الناس بمن ينتسب الى الكتاب والسنه ويستنبط من علومهما ولا يبالى من خالفه، ومن
خالفه فهو عنده كافر، هذا وهو لم يكن فيه خصله واحده من خصال اهل الاجتهاد، ولا واللّه
ولا عشر واحده، ومع هذا راج كلامه على كثير من الجهال، فانا للّه وانا اليه راجعون."
“Saat ini
manusia tengah ditimpa bencana besar dengan kemunculan orang yang mengaku-aku
berdasarkan al-Qur`an dan Sunnah. Dia masa bodoh dengan orang-orang yang
menyalahinya. Bahkan setiap orang yang menyalahinya dianggap kafir olehnya.
Begitulah, sementara ia bukan seorang yang menyandang satu pun dari sekian
banyak syarat ijtihad. Sungguh, tidak satu pun sama sekali. Bahkan sepersepuluh
dari salah satu syaratnya saja tidak ia miliki. Namun demikian, ucapannya laris
di kalangan kaum jahil. Innâ lillâhi wa innâ
ilaihi râji’ûn.”[27]
Saudara kandungnya itu juga
pernah bertanya kepada Ibnu Abdul Wahab seperti ini: “Muhammad, berapa rukun
Islam? “Lima” jawabnya. Sulaiman membantahnya, “Engkau telah menambahnya jadi
enam! Karena orang yang tidak mengikutimu dianggap bukan orang Islam!”[28]
Demikianlah hakikat sesungguhnya tentang sosok pendiri Wahabi, yang sangat
diagung-agungkan oleh para pengikutnya itu.
[1] Abu al-Fadhl
Muhammad ibnu Manzhur, Qamus Lisan al-Arab, Dar as-Shadir, Beirut,
Lebanon 1410 H, Cet. ke-1, entri Sa-La-Fa, jilid 6, h. 330.
[2] Abd al-Malik
ibnu Ahmad Ramadhany al-Jazairi, Madarik al-Nazhar fi al-Siyasah baina
al-Tathbiqat al-Syariyyah wa al-Infi’alat al-Hamasiyah, Dar Sabil
al-Mu.minin, Dammam, Cetakan kedua. 1418H, h. 30., Abu Abdirrahman al-Thalibi, Dakwah
Salafiyah Dakwah Bijak; Meluruskan Sikap Keras Dai Salafi, Hujjah Press,
Jakarta, Cetakan kedua, Maret 2006, h. 8.
[3] Ibid, Madarik
al-Nazhar, op. cit., h. 30.
[4] Dari kata ini
kita kemudian sering mendengarkan kata bentukan lainnya seperti Salafiyah (yang
berarti ajaran atau paham salaf) atau Salafiyun/Salafiyin yang merupakan
bentuk plural dari kata Salafi.
[5] Hasan bi Ali
as-Segaf, as-Salafiyyah al-Wahhabiyyah, Dar al-Imam ar-Rawwas, Beirut,
Lebanon, h. 20.
[6] Najd sekarang
masuk ke dalam kawasan kota Riyad, Saudi Arabia.
[8] Lihat: Dr.
Sa'id Ramadhan al-Buthi, as-Salafiyah Marhalah Zamaniyah Mubarakah La
Madzhab Islami, Dar al-Fikr, Damaskus, Syria 1996, h. 236. Apalagi, para
ulama berhasil menguak borok dan kesesatan-kesesatan Wahabi, semisal al-Allamah
al-Kautsari, al-Allamah al-Qusyairi, Mufti Mesir; Syaikh Prof. Dr. Ali Jum'ah,
al-Muhaddtis Muhammad al-'Alawi al-Maliki, Syaikh Hasan ibnu Ali Assegaf,
Syaikh Ahmad al-Ghimari, Syaikh Abdullah al-Harari, dll.
[9] Hasan ibnu Ali
as-Segaf, at-Tandid bi Man ‘Addad at-Tauhid, Dar Imam an-Nawawi, cet.
ke-2, Amman, Yordania 1413 H, h. 27.
[10] Utsman ibnu
Abdullah ibnu Bisyr al-Hanbali an-Najdi (wafat 1288 H), Unwan al-Majd fi
Tarikh Najd, Maktabah Riyad al-Haditsah, tanpa tanggal, jilid 1, h. 182.
Atau versi penerbit lain semisal terbitan Mathbu’at Darat al-Malik Abdul
Aziz (percetakan Rumah Raja Abdul Aziz), Riyadh, Saudi Arabia 1982. Utsman
ibnu Bisyr merupakan salah seorang ulama sejarah rujukan ulama-ulama Wahabi,
bahkan bukunya ini telah ditahkik dan dita’lik oleh salah seorang cucu dari
Muhammad ibnu Abdul Wahab (pendiri Wahabi) yang bernama Abdurrahman ibnu
Abdullatif ibnu Abdullah Alu sy-Syaikh. Buku hasil tahkikannya ini diterbitkan
oleh Dar al-Malik ibnu Abdul Aziz, Riyadh, Saudi Arabia, cetakan ke-4, 1982 M /
1402 H.
[11] Persis seperti
ungkapan Sayidina Ali yang terkenal ketika menumpas kaum Khawarij, “Qaul
ul-haq yurâdu bih il-bâthil” (kalimat yang benar tapi digunakan untuk
kebatilan). Para sahabat Rasulullah SAW, imam-imam mazhab, ulama-ulama Salaf,
dan umat Islam yang tidak sejalan dengan mereka dikafirkan, bahkan tak segan
mereka musnahkan. Lihat: Aqidah Ahl As-Sunnah wa al-Jamaah, Hasan bi Ali
ibnu as-Segaf, Dar al-Imam an-Nawawi, cetakan pertama, h. 213 dan setelahnya.
[12] Sunan at-Tirmidzi, bab Ma Yaqul
ar-Rajul Idza Dakhal al-Maqabir 4/208 no. 975. At-Thabarani, al-Mu’jam
al-Kabir bab 3, 10/254 no. 12447.
[13] Muhammad Abu Zuhrah, Tarikh
al-Mazhahib al-Islamiyah al-Fiqhiyah, Dar al-Fikr al-Arabi, Cairo, h. 232.
[15] Ibnu Bisyr, Unwan
al-Majd, op.cit., jilid 1, h. 6.
[16] Dr. Muhammad
Awadh al-Khatib, Shafahat min Tarikh al-Jazirah al-Arabiyah, cet. ke-1,
Dar al-Mi'raj li ath-Thiba'ah wa an-Nasyr, Beirut, Lebanon 1995, h. 60.
[17] Dr. Muhammad
al-Mas’ari, al-Kawâsyif al-Jaliyyah fi Kufri d-Daulah as-Su’ûdiyyah, Muassasah
ar-Rafid, Riyadh, Saudi Arabia, lampiran pertama. Lihat juga website:
www.ummah.net/cdlr.
[18] Kitab ad-Durar as-Saniyyah ini adalah kumpulan
risalah dan makalah pendiri Salafi Wahabi; Ibnu Abdul Wahab dan ulama-ulama
mereka dari kalangan keturunannya, serta para muridnya. Buku yang menjadi salah
satu referensi utama mereka dalam beragama ini disusun oleh Abdurrahman ibnu
Muhammad ibnu Qasim al-Qahthani (1312-1392 H), terdiri dari 16 jilid, dan telah
mengalami cetak ulang ratusan kali.
[19] Muhammad ibnu Abdul Wahab, dkk, Ad-Durar
as-Saniyyah fi al-Ajwibah an-Najdiyah, penyusun Abdurrahman ibnu Muhammad
ibnu Qasim al-'Ashimi al-Qahthani an-Najdi (1312-1392 H), cet. ke-5, Dar
al-Qasim, Riyadh, Saudi Arabia 1413 H, jilid 9, h. 9.
[20] Buku ini pertama kali dicetak oleh Mathba'ah Nukhbah al-Akhbar, Bombai, India 1306 H. Cetakan
keduanya di Cairo. Cetakan ketiganya oleh Maktabah Isyaq Katbawi, Istanbul, Turki, 1399 H.
[21]
www.ahlussunah.org, Risalah fi ar-Radd ‘ala Firaq adh-Dhalal, h. 1.
Lihat juga: Ahmad Zaini Dahlan, al-Futuhat al-Islamiyah, Vol. 2, Dar
Shadir, Berut, Lebanon 1998, h. 357.
[22] Jamil Shidqi
az-Zahawi, al-Fajr ash-Shadiq, cetakan Cairo, Mesir, tahun 1323, h.
4.
[23] Syekh Muhammad
ibnu Humaid wafat sekitar 80 tahun setelah Ibnu Abdul Wahab.
[24] Muhammad ibnu
Abdullah ibnu Humaid (w 1296 H), as-Suhub al-Wabilah 'ala Dhara`ih
al-Hanabilah, tahkik Dr. Abdurrahman al-Utsaimin dkk, Maktabah Imam Ahmad,
Riyadh, Saudi Arabia 1989, h. 275.
[25] Utsman ibnu Bisyr al-Hanbali an-Najdi,
Unwân al-Majd fi Târîkh Najd, Dar
al-Malik ibnu Abdul Aziz, Riyadh, Saudi Arabia, cetakan ke-4, 1982 M / 1402 H,
jilid 1, h. 37.
[26] Sulaiman ibnu
Abdul Wahab, ash-Shawa’iq al-Ilahiyah fi ar-Radd 'ala al-Wahhabiyah,
tahkik Ibrahim Muhammad al-Bathawi, Dar al-Insan, Cairo, Mesir, h. 7. Buku ini
juga pernah diterbitkan sebelumnya oleh Maktabah Isyaq Katbawi, Istanbul,
Turki, 1399 H.
[27] Ibid, ash-Shawa’iq
al-Ilahiyah. Ahmad ibnu Zaini Dahlan, Fitnah al-Wahhabiyah,
Istambul, Turki, 1986. h. 5.
0 komentar:
Posting Komentar