Kamis, 21 Agustus 2014

APA ITU SALAFI? 
Oleh: Syaikh Idahram
(dinukil dari buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi) 

1.    Mengenal Salafi
Apa Itu Salafi? Kata Salafi adalah sebuah bentuk penisbatan kepada as-Salaf. Kata as-Salaf sendiri secara bahasa bermakna orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman kita.[1]
Adapun makna terminologis as-Salaf adalah generasi yang dibatasi oleh sebuah penjelasan Rasulullah s.a.w. dalam hadisnya, “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di masaku, kemudian yang mengikuti mereka (at-Tâbi’în), kemudian yang mengikuti mereka (Tâbi’ at-Tâbi’în).” (HR. Bukhari dan Muslim dalam shahihnya).
Berdasarkan hadis ini, maka yang dimaksud dengan as-Salaf adalah para sahabat Nabi s.a.w., kemudian at-Tâbi’în (pengikut Nabi setelah masa Sahabat), lalu Tâbi’ at-Tâbi’în (pengikut Nabi setelah masa at-Tâbi’în), termasuk di dalamnya para Imam Mazhab. Karena mereka semua hidup di tiga abad pertama sepeniggal Rasulullah s.a.w. Oleh karena itu, ketiga kurun ini kemudian dikenal juga dengan sebutan al-Qurûn al-Mufadhdhalah (kurun-kurun yang mendapatkan keutamaan).[2] Sebagian ulama kemudian menambahkan label as-Shalih –sehingga menjadi as-Salafu sh-Shâlih untuk memberikan karakter pembeda dengan pendahulu kita yang lain yang dikenal dengan al-Khalaf (orang-orang yang datang setelahnya).[3] Sehingga seorang Salafi berarti seseorang yang mengaku mengikuti jalan para sahabat Nabi s.a.w., at-Tâbi’în dan Tâbi’ at-Tâbi’în dalam seluruh sisi ajaran dan pemahaman mereka.[4]
Sampai di sini tampak jelas, sebenarnya tidak ada masalah dengan arti salafi ini, karena pada dasarnya setiap muslim akan mengakui legalitas kedudukan para sahabat Nabi s.a.w. dan dua generasi terbaik umat Islam sesudahnya itu; at-Tâbi’în dan Tâbi’ at-Tâbi’în. Atau dengan kata lain, seorang muslim manapun sebenarnya sedikit-banyak memiliki kadar kesalafian dalam dirinya meskipun ia tidak pernah menggembar-gemborkan pengakuan bahwa ia seorang salafi. Karena, maksud dari salafi itu sendiri sebenarnya adalah Islam. Begitu juga dengan pengakuan kesalafian seseorang, tidak pernah dapat menjamin bahwa yang bersangkutan benar-benar telah mengikuti para as-Salafu sh-Shâlih. Ini sama persis dengan pengakuan kemusliman siapapun yang terkadang lebih sering berhenti pada taraf pengakuan belaka.
Namun demikian, saat ini penggunaan istilah Salafi menjadi tercemari. Karena propaganda yang begitu gencar, istilah Salafi mengarah kepada kelompok gerakan Islam tertentu, di mana kelompok tersebut getol melakukan klaim dan mengaku-aku sebagai satu-satunya kelompok Salaf. Terlebih lagi, dalam prakteknya, mereka cenderung menyimpang dari ajaran Islam yang benar yang dianut oleh mayoritas umat Islam dari sejak masa Rasulullah s.a.w. hingga saat ini.


Dari kenyataan semacam itu, muncul banyak pertanyaan untuk kaum yang satu ini, di antaranya, apakah benar akhlak Salaf dahulu seperti itu? 
2.   Salafi Nama Lain dari Wahabi
Siapakah sebenarnya kelompok yang mengklaim sebagai ‘Salafi’ yang akhir-akhir ini mulai marak? Dahulunya, kelompok yang sekarang mengaku-aku sebagai Salafi ini dikenal dengan nama Wahabi. Tidak ada perbedaan antara Salafi yang ini dengan Wahabi. Kedua istilah itu ibarat dua sisi pada sekeping mata uang. Satu dari sisi keyakinan, dan padu dari segi pemikiran. Sewaktu di Jazirah Arab mereka lebih dikenal dengan Wahhâbiyah Hanbaliyah. Namun, ketika diekspor keluar Saudi, mereka mengatasnamakan dirinya dengan Salafi’, khususnya setelah bergabungnya Muhammad Nashiruddin al-Albani, yang mereka pandang sebagai ulama ahli hadis.[5]
Pada hakikatnya mereka bukanlah Salafi atau para pengikut Salaf. Mereka lebih tepat jika disebut Salafi Wahabi, yakni pengikut Muhammad ibnu Abdul Wahab yang lahir di Uyainah, Najd,[6] Saudi Arabia tahun 1115 Hijriyah (1703 Masehi) dan wafat tahun 1206 Hijriyah (1792 Masehi). Pendiri Wahabi ini sangat mengagumi Ibnu Taimiyah, seorang ulama kontroversial yang hidup di abad ke-8 Hijriyah dan banyak mempengaruhi cara berpikirnya.[7]
Wahabi berganti baju menjadi Salafi atau terkadang “Ahlussunnah” –yang seringnya– tanpa diikuti dengan kata “wal Jamaah”, karena mereka merasa risih dengan penisbatan tersebut dan mengalami banyak kegagalan dalam dakwahnya. Sebagaimana itu diungkapkan oleh Prof. Dr. Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam bukunya, as-Salafiyah Marhalah Zamaniyah Mubarakah La Madzhab Islami. Dia mengatakan bahwa, Wahabi merubah strategi dakwahnya dengan berganti nama menjadi “Salafi” karena mengalami banyak kegagalan dan merasa tersudut dengan panggilan nama Wahabi yang dinisbatkan kepada pendirinya, yakni Muhammad ibnu Abdul Wahab.[8] Sebagian kaum muslimin menamakan mereka dengan Salafi Palsu atau Mutamaslif.[9]
Untuk menarik simpati umat Islam, Wahabi berupaya mengusung flatform dakwah yang sangat terpuji yaitu, memerangi syirik, penyembahan berhala, pengkultusan kuburan, dan membersihkan Islam dari bid’ah dan khurafat.[10] Namun mereka salah kaprah dalam penerapannya, bahkan dapat dibilang, dalam banyak hal mereka telah keluar dari ajaran Islam itu sendiri.[11]  
Tidak ada satupun riwayat shahih yang sampai kepada kita menerangkan bahwa, ada diantara para sahabat Nabi s.a.w., ulama salaf dan imam-imam mujtahid (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Ahmad ibnu Hanbal, Imam Tsauri dan lainnya) yang menyebut diri mereka dan para pengikutnya sebagai kelompok Salafi, hingga para Imam ahli hadis sekalipun –seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi, dan yang lainnya–, tidak ada yang menyebut dirinya sebagai Salafi.
Sebagai sebuah bahasa, kata “salaf” –yang berarti pendahulu– sudah lama muncul dalam khasanah perbendaharaan kata dalam agama Islam, bahkan sejak zaman Nabi s.a.w., tetapi tidak untuk arti “sekelompok orang yang memiliki keyakinan sama” atau sebuah mazhab dalam Islam. Sebagai contohnya, lihat saja misalkan ucapan salam yang diajarkan Nabi s.a.w. kepada umatnya saat berziarah kubur yaitu, “Assalâmu’alaikum yâ ahla l-qubûr yaghfirullâhu lana wa lakum antum salafunâ wa nahnu bi l-atsar” (keselamatan untuk kalian wahai ahli kubur, semog Allah mengampuni kami dan kalian, kalian adalah para pendahulu kami, sedangkan kami nanti pasti akan menyusul). (HR. Tirmidzi dan Thabarani).[12] Dalam hadis ini tertera kata “salaf” yang artinya “para pendahulu”.
Adapun awal mula munculnya istilah “Salafy” adalah di Mesir, setelah usainya penjajahan Inggris. Tepatnya saat muncul gerakan pembaruan Islam (al-ishlah ad-dini) yang dipimpin oleh Jamaluddin al-Afghani dan muridnya; Muhammad Abduh di akhir abad 19 Masehi, yang dikenal dengan gerakan Pan Islamisme. Maka untuk menumbuhkan rasa patriotisme dan fanatik yang tinggi terhadap perjuangan umat Islam saat itu dalam rangka membendung pengaruh sekulerisme, penjajahan dan hegemoni Barat atas dunia Islam, Muhammad Abduh mengenalkan istilah “Salafy”.[13] Namun salafiyah Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha ini sangat berbeda dengan salafiyah-nya Wahabi. Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha mengajak kepada persatuan dan kebangkitan peran umat Islam, sedangkan Wahabi mengajak kepada perpecahan dan kehancuran umat Islam.
Lalu dari manakah munculnya istilah “Salafy” untuk menggelari “orang yg mengklaim dirinya sebagai satu-satunya penerus ajaran as-Salafu sh-Shâlih”, yakni para Sahabat, Tâbi’în dan Tâbi’ Tâbi’în? Yang jelas bukan dari Sahabat Nabi s.a.w. dan para Ulama Salaf terdahulu, hingga para imam ahli hadis sekalipun. Melainkan Nashiruddin Albani-lah yang pertama kali mempopulerkan istilah ini, sebagaimana terekam dalam sebuah dialognya antara Albani dengan salah satu pengikutnya yaitu Abdul Halim Abu Syuqqah pada bulan Juli 1999 M/Rabiul Akhir 1420 H.[14]
Seiring dengan kelihaiannya dalam ‘mengaduk-aduk’ hadis, Albani sebagai pendatang baru di ranah Wahabi, juga lihai dalam meracik nama baru untuk me-refresh dan meremajakan paham yang kian memiliki image negatif di dunia Islam itu. Dia sangat berjasa bagi kelanjutan dakwah Salafi Wahabi dengan ide salafinya itu, yang sebelumnya dikenal dengan nama Wahabi.
Pertanyaannya, bukankah penggunaan istilah Salafi seperti itu juga adalah hal baru dalam agama alias bid’ah, suatu kata yang selalu mereka dengang-dengungkan dalam menghantam umat Islam? Apakah label bid’ah hanya berlaku untuk selain mereka, sedangkan untuk mereka tidak?
3.   Sekilas tentang Wahabi dan Pendirinya

 Pendiri Wahabi, Ibnu Abdul Wahab (1703-1792 Masehi)
Sekte Wahabiyah ini dinisbatkan kepada Muhammad ibnu Abdul Wahab ibnu Sulaiman an-Najdi. Lahir tahun 1115 Hijriyah (1703 Masehi) dan wafat tahun 1206 Hijriyah (1792 Masehi). Dia wafat di usia sangat tua, dengan umur 91 tahun.
Belajar ilmu agama dasar bermazhab Hanbali dari ayahnya yang juga seorang qhâdi (hakim).[15] Pernah mengaji kepada beberapa guru agama Mekkah dan Madinah, seperti Syaikh Muhammad ibnu Sulaiman al-Kurdi, Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi, dan lainnya. Kemudian dia berangkat ke Bashrah, namun kembali lagi karena ditolak menjadi murid.[16]
Pengetahuan agamanya kurang memadai, karena dia belajar ilmu agama hanya dari segelintir guru, termasuk ayahnya sendiri, dalam waktu yang sangat minim dan terputus-putus. Kenyataan ini diakui beberapa ulama Wahabi, di antaranya Dr. Muhammad al-Mas’ari dalam bukunya yang berjudul al-Kawâsyif al-Jaliyyah fi Kufri d-Daulah as-Su’ûdiyyah (Terang Benderangnya Kekufuran Negara Saudi), pada lampiran pertamanya tentang Tasâ`ulât haula sy-Syar’iyyah (Pertanyaan seputar Syariat) ketika dia menyinggung kondisi awal berdirinya negara Saudi Arabia. Dalam bukunya itu dia menyatakan, sebelum ‘bersekongkol’ dengan keluarga Saud dan Inggris untuk memberontak dari kekhalifahan Turki Utsmani, Ibnu Abdul Wahab layaknya ‘ustadz kampung’ yang tidak menonjol, biasa-biasa saja, dan bahkan tidak diperhitungkan. Dia tidak dikenal sama sekali ketokohan dan keulamaannya oleh para ulama yang sezaman dengannya.[17] Kenyataan seperti ini juga diakui oleh ulama-ulama Wahabi. Dalam buku mereka yang menjadi rujukan kaum Salafi Wahabi, ad-Durar as-Saniyyah,[18] disebutkan:
"ومحمد بن عبد الوهاب رحمه الله ما ادعى إمامة الأمة، وإنما هو عالم دعا إلى الهدى، وقاتل عليه ولم يلقب في حياته بالإمام، ولا عبد العزيز بن محمد بن سعود، ما كان أحد في حياته منهم يسمى إماما، وإنما حدث تسمية من تولى إماما بعد موتهما."
“Muhammad ibnu Abdul Wahab rahimahullah tidak pernah mengaku sebagai imam umat ini. Dia hanyalah seorang alim yang mengajak kepada ‘hidayah’, berperang untuk itu, dan semasa hidupnya tidak pernah digelari sebagai imam. Begitu juga dengan Abdul Aziz ibnu Muhammad ibnu Saud, tidak ada seorang pun semasa hidupnya yang menyebutnya imam. Adapun penamaan imam dberikan oleh orang yang hidup setelahnya.”[19] 
Sebaliknya, karena keyakinan menyimpangnya itu, kakaknya yang bernama Sulaiman ibnu Abdul Wahab mengritik pahamnya yang nyleneh dengan begitu pedas, melalui dua bukunya ash-Shawâ’iq al-Ilâhiyah fi ar-Radd ‘ala al-Wahhabiyah[20] dan kitab Fashlu l-Khitâb fi r-Raddi ‘ala Muhammadi bni Abdil Wahhâb. Dua bukunya itu dirasa penting untuk dia tulis, melihat adiknya yang sudah jauh menyimpang dari ajaran Islam dan akidah umat secara umum, terlebih lagi dari paham Mazhab Imam Ahmad ibnu Hanbal, Mazhab Ahlussunnah wal Jamaah ke empat yang banyak dianut oleh penduduk Najd, Saudi Arabia, pada masa itu.[21]
Selain itu, Ibnu Abdul Wahab juga gemar membaca berita dan kisah-kisah para pengaku kenabian, seperti Musailamah al-Kadzdzab, Sajah, Aswad al-Unsi dan Thulaihah al-Asadi. Sejak masa studinya yang singkat itu, telah tampak darinya gelagat penyimpangan besar, sehingga ayahnya dan para gurunya mengingatkan masyarakat akan bahaya penyimpangannya. Mereka bertutur, “Anak ini akan tersesat dan akan menyesatkan banyak orang yang Allah sengsarakan dan jauhkan dari rahmat-Nya!”[22]
Tokoh ulama terkenal, seorang Mufti Mekkah yang hidup sezaman dengannya yaitu Muhammad ibnu Humaid,[23] juga tidak pernah memasukkan nama Ibnu Abdul Wahab di dalam jajaran ulama Hanabilah ketika dia menyebutkan sedikitnya ada 800 nama ulama dan tokoh Mazhab Hanabilah pada masa itu. Padahal Mufti tersebut turut memasukkan nama ayahnya yakni Abdul Wahab, dalam jajaran para ulama dan tokoh Mazhab Ahmad ibnu Hanbal, bahkan memuji kadar keilmuannya. Dia juga menjelaskan bahwa, ayah Muhammad ibnu Abdul Wahab sangat jengkel kepada anaknya itu dengan mengatakan:
يَا مَا تَرَوْنَ مِنْ مُحَمَّدٍ مِنَ الشَّرِّ، فَقَدَّرَ اللهُ أَنْ صَارَ مَا صَارَ
“Kalian akan melihat kejahatan yang akan dilakukan oleh Muhammad ibnu Abdul Wahab. Allah telah mentakdirkan yang akan terjadi pasti terjadi.” [24]
Pada tahun 1143 H Ibnu Abdul Wahab mulai menampakkan dakwahnya terhadap aliran barunya itu, akan tetapi ayahnya bersama para masyaikh dan guru-guru besar di sana berdiri tegak menghalau kesesatannya itu. Mereka menbongkar kebatilan ajakannya, sehingga dakwahnya tidak laku. Barulah ketika ayahnya wafat pada tahun 1153 H, ia mulai leluasa untuk menebar kembali ‘pesona’nya. Ia menyuarakan kembali ajakannya di kalangan para awam yang lugu dan tak tau banyak tentang agama, sehingga mereka dengan mudah mau mengikuti ajakannya dan mendukungnya. Ibnu Bisyr –sejarawan Wahabi tulen– dalam kitabnya Unwan al-Majd berkata:
"فلما أن الشيخ محمد وصل إلى بلد حريملا أخذ يقرأ عليه، وينكر ما يفعل الجهال من البدع والشرك في الأقوال والأفعال، وكثر منه الإنكار لذلك، ولجميع المحظورات، حتى وقع بينه وبين أبيه كلام، وكذلك وقع بينه وبين أناس في البلد، فأقام على ذلك مدة سنين حتى توفي أبوه عبدالوهاب في سنة ثلاث وخمسين ومائة وألف، ثم أعلن بالدعوة."
“Setibanya Muhammad ibnu Abdul Wahab di kampungnya, Huraimila, dia bersitegang dengan ayahnya dan mengingkari apa yang dilakukan oleh orang-orang jahil (baca: umat Islam) berupa bid’ah dan syirik dalam ucapan dan perbuatan, dan pengkafiran-pengkafiran lainnya, hingga terjadi perang mulut antara dirinya dengan ayahnya. Kekisruhan yang sama juga terjadi antara dirinya dengan warga kampungnya selama bertahun-tahun, sehingga ayahnya wafat tahun 1153 H. Setelah itu, dia mengikrarkan dakwahnya.”[25]
Atas tragedi itu, para ulama mencap Ibnu Abdul Wahab sebagai anak durhaka. Terlebih, ayah kandungnya yang seorang qadhi, pakar ilmu Fikih Mazhab Hanbali, dan paham betul tentang ajaran Islam serta seluk-beluk masyarakatnya, telah membantah keyakinan sesat anaknya itu yang telah menuduh umat Islam melakukan bid’ah dan syirik. Lalu siapakah sebenarnya yang lebih alim? Orang yang selalu ditolak menjadi murid dalam belajar atau qhadi yang mengerti hukum?!
Atas kehadiran sekte sempalan ini, masyarakat di Huraimila bangkit dan hampir-hampir membunuhnya. Kemudian ia melarikan diri ke kota Uyainah. Di sana ia merapat kepada Emir kota tersebut dan menikahi gadis dari salah seorang kerabatnya. Dari sanalah dia memulai kembali dakwah pembid’ahan yang ia cetuskan itu. Namun tidak lama kemudian, masyarakat Uyainah pun keberatan dengan ajakannya, sehingga mereka juga mengusirnya dari kota tersebut. Lalu ia pergi meninggalkan Uyainah menuju Dir’iyah di sebelah timur kota Najd, sebuah daerah yang dahulu didiami oleh Musailamah al-Kadzdzab yang mengaku-ngaku sebagai nabi palsu.
 Muhammad Ibnu Saud (1710–1765 Masehi)
Di kota tersebut, ia mendapat dukungan penuh dari Emirnya yaitu Muhammad ibnu Sa’ud, sehingga sebagian warga masyarakat di sana pun menyambut ajarannya dengan hangat. Saat itu ia bertingkah seperti seorang mujtahid agung. Ia tidak pernah menghiraukan pendapat para imam dan ulama terdahulu, maupun yang sezaman dengannya. Sementara itu, semua tahu bahwa ia sangat tidak layak untuk mensejajarkan dirinya di barisan para ulama mujtahidin.[26]
Demikianlah apa yang disifati oleh saudara kandungnya, seorang alim besar bernama Syaikh Sulaiman ibnu Abdul Wahab dalam buku bantahannya tersebut. Sebagai kakak kandung, ia tahu persis bagaimana prilaku dan kondisi adiknya itu. Dalam bukunya itu, Syaikh Sulaiman menggambarkan bagaimana prilaku buruk adiknyanya itu yang menurutnya sesat dan menyimpang dari ajaran Islam. Di antaranya beliau menyatakan:
"اليوم ابتلى الناس بمن ينتسب الى الكتاب والسنه ويستنبط من علومهما ولا يبالى من خالفه، ومن خالفه فهو عنده كافر، هذا وهو لم يكن فيه خصله واحده من خصال اهل الاجتهاد، ولا واللّه ولا عشر واحده، ومع هذا راج كلامه على كثير من الجهال، فانا للّه وانا اليه راجعون."
“Saat ini manusia tengah ditimpa bencana besar dengan kemunculan orang yang mengaku-aku berdasarkan al-Qur`an dan Sunnah. Dia masa bodoh dengan orang-orang yang menyalahinya. Bahkan setiap orang yang menyalahinya dianggap kafir olehnya. Begitulah, sementara ia bukan seorang yang menyandang satu pun dari sekian banyak syarat ijtihad. Sungguh, tidak satu pun sama sekali. Bahkan sepersepuluh dari salah satu syaratnya saja tidak ia miliki. Namun demikian, ucapannya laris di kalangan kaum jahil. Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn.”[27]
Saudara kandungnya itu juga pernah bertanya kepada Ibnu Abdul Wahab seperti ini: “Muhammad, berapa rukun Islam? “Lima” jawabnya. Sulaiman membantahnya, “Engkau telah menambahnya jadi enam! Karena orang yang tidak mengikutimu dianggap bukan orang Islam!”[28] Demikianlah hakikat sesungguhnya tentang sosok pendiri Wahabi, yang sangat diagung-agungkan oleh para pengikutnya itu.


[1] Abu al-Fadhl Muhammad ibnu Manzhur, Qamus Lisan al-Arab, Dar as-Shadir, Beirut, Lebanon 1410 H, Cet. ke-1, entri Sa-La-Fa, jilid 6, h. 330.
[2] Abd al-Malik ibnu Ahmad Ramadhany al-Jazairi, Madarik al-Nazhar fi al-Siyasah baina al-Tathbiqat al-Syariyyah wa al-Infi’alat al-Hamasiyah, Dar Sabil al-Mu.minin, Dammam, Cetakan kedua. 1418H, h. 30., Abu Abdirrahman al-Thalibi, Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak; Meluruskan Sikap Keras Dai Salafi, Hujjah Press, Jakarta, Cetakan kedua, Maret 2006, h. 8.
[3] Ibid, Madarik al-Nazhar, op. cit., h. 30.
[4] Dari kata ini kita kemudian sering mendengarkan kata bentukan lainnya seperti Salafiyah (yang berarti ajaran atau paham salaf) atau Salafiyun/Salafiyin yang merupakan bentuk plural dari kata Salafi.
[5] Hasan bi Ali as-Segaf, as-Salafiyyah al-Wahhabiyyah, Dar al-Imam ar-Rawwas, Beirut, Lebanon, h. 20.
[6] Najd sekarang masuk ke dalam kawasan kota Riyad, Saudi Arabia.
[7] Abu Zuhrah, Tarikh al-Mazhahib al-Islamiyah, Dar al-Fikr al-Arabi, Cairo, h. 187.
[8] Lihat: Dr. Sa'id Ramadhan al-Buthi, as-Salafiyah Marhalah Zamaniyah Mubarakah La Madzhab Islami, Dar al-Fikr, Damaskus, Syria 1996, h. 236. Apalagi, para ulama berhasil menguak borok dan kesesatan-kesesatan Wahabi, semisal al-Allamah al-Kautsari, al-Allamah al-Qusyairi, Mufti Mesir; Syaikh Prof. Dr. Ali Jum'ah, al-Muhaddtis Muhammad al-'Alawi al-Maliki, Syaikh Hasan ibnu Ali Assegaf, Syaikh Ahmad al-Ghimari, Syaikh Abdullah al-Harari, dll.
[9] Hasan ibnu Ali as-Segaf, at-Tandid bi Man ‘Addad at-Tauhid, Dar Imam an-Nawawi, cet. ke-2, Amman, Yordania 1413 H, h. 27.
[10] Utsman ibnu Abdullah ibnu Bisyr al-Hanbali an-Najdi (wafat 1288 H), Unwan al-Majd fi Tarikh Najd, Maktabah Riyad al-Haditsah, tanpa tanggal, jilid 1, h. 182. Atau versi penerbit lain semisal terbitan Mathbu’at Darat al-Malik Abdul Aziz (percetakan Rumah Raja Abdul Aziz), Riyadh, Saudi Arabia 1982. Utsman ibnu Bisyr merupakan salah seorang ulama sejarah rujukan ulama-ulama Wahabi, bahkan bukunya ini telah ditahkik dan dita’lik oleh salah seorang cucu dari Muhammad ibnu Abdul Wahab (pendiri Wahabi) yang bernama Abdurrahman ibnu Abdullatif ibnu Abdullah Alu sy-Syaikh. Buku hasil tahkikannya ini diterbitkan oleh Dar al-Malik ibnu Abdul Aziz, Riyadh, Saudi Arabia, cetakan ke-4, 1982 M / 1402 H.
[11] Persis seperti ungkapan Sayidina Ali yang terkenal ketika menumpas kaum Khawarij, “Qaul ul-haq yurâdu bih il-bâthil” (kalimat yang benar tapi digunakan untuk kebatilan). Para sahabat Rasulullah SAW, imam-imam mazhab, ulama-ulama Salaf, dan umat Islam yang tidak sejalan dengan mereka dikafirkan, bahkan tak segan mereka musnahkan. Lihat: Aqidah Ahl As-Sunnah wa al-Jamaah, Hasan bi Ali ibnu as-Segaf, Dar al-Imam an-Nawawi, cetakan pertama, h. 213 dan setelahnya.
[12] Sunan at-Tirmidzi, bab Ma Yaqul ar-Rajul Idza Dakhal al-Maqabir 4/208 no. 975. At-Thabarani, al-Mu’jam al-Kabir bab 3, 10/254 no. 12447.
[13] Muhammad Abu Zuhrah, Tarikh al-Mazhahib al-Islamiyah al-Fiqhiyah, Dar al-Fikr al-Arabi, Cairo, h. 232.
[14] Lihat Majalah As-Sunnah edisi 06\IV\1420, h. 20-25.
[15] Ibnu Bisyr, Unwan al-Majd, op.cit., jilid 1, h. 6.
[16] Dr. Muhammad Awadh al-Khatib, Shafahat min Tarikh al-Jazirah al-Arabiyah, cet. ke-1, Dar al-Mi'raj li ath-Thiba'ah wa an-Nasyr, Beirut, Lebanon 1995, h. 60. 
[17] Dr. Muhammad al-Mas’ari, al-Kawâsyif al-Jaliyyah fi Kufri d-Daulah as-Su’ûdiyyah, Muassasah ar-Rafid, Riyadh, Saudi Arabia, lampiran pertama. Lihat juga website: www.ummah.net/cdlr.
[18] Kitab ad-Durar as-Saniyyah ini adalah kumpulan risalah dan makalah pendiri Salafi Wahabi; Ibnu Abdul Wahab dan ulama-ulama mereka dari kalangan keturunannya, serta para muridnya. Buku yang menjadi salah satu referensi utama mereka dalam beragama ini disusun oleh Abdurrahman ibnu Muhammad ibnu Qasim al-Qahthani (1312-1392 H), terdiri dari 16 jilid, dan telah mengalami cetak ulang ratusan kali.
[19] Muhammad ibnu Abdul Wahab, dkk, Ad-Durar as-Saniyyah fi al-Ajwibah an-Najdiyah, penyusun Abdurrahman ibnu Muhammad ibnu Qasim al-'Ashimi al-Qahthani an-Najdi (1312-1392 H), cet. ke-5, Dar al-Qasim, Riyadh, Saudi Arabia 1413 H, jilid 9, h. 9.
[20] Buku ini pertama kali dicetak oleh Mathba'ah Nukhbah al-Akhbar, Bombai, India 1306 H. Cetakan keduanya di Cairo. Cetakan ketiganya oleh Maktabah Isyaq Katbawi, Istanbul, Turki, 1399 H.
[21] www.ahlussunah.org, Risalah fi ar-Radd ‘ala Firaq adh-Dhalal, h. 1. Lihat juga: Ahmad Zaini Dahlan, al-Futuhat al-Islamiyah, Vol. 2, Dar Shadir, Berut, Lebanon 1998, h. 357.
[22] Jamil Shidqi az-Zahawi, al-Fajr ash-Shadiq, cetakan Cairo, Mesir, tahun 1323, h. 4. 
[23] Syekh Muhammad ibnu Humaid wafat sekitar 80 tahun setelah Ibnu Abdul Wahab.
[24] Muhammad ibnu Abdullah ibnu Humaid (w 1296 H), as-Suhub al-Wabilah 'ala Dhara`ih al-Hanabilah, tahkik Dr. Abdurrahman al-Utsaimin dkk, Maktabah Imam Ahmad, Riyadh, Saudi Arabia 1989, h. 275.
[25] Utsman ibnu Bisyr al-Hanbali an-Najdi, Unwân al-Majd fi Târîkh Najd, Dar al-Malik ibnu Abdul Aziz, Riyadh, Saudi Arabia, cetakan ke-4, 1982 M / 1402 H, jilid 1, h. 37.
[26] Sulaiman ibnu Abdul Wahab, ash-Shawa’iq al-Ilahiyah fi ar-Radd 'ala al-Wahhabiyah, tahkik Ibrahim Muhammad al-Bathawi, Dar al-Insan, Cairo, Mesir, h. 7. Buku ini juga pernah diterbitkan sebelumnya oleh Maktabah Isyaq Katbawi, Istanbul, Turki, 1399 H.
[27] Ibid, ash-Shawa’iq al-Ilahiyah. Ahmad ibnu Zaini Dahlan, Fitnah al-Wahhabiyah, Istambul, Turki, 1986. h. 5.
[28] Ahmad ibnu Zaini Dahlan, ad-Durar as-Saniyah fi ar-Radd ‘ala al-Wahhabiyah, h. 137.

0 komentar:

Posting Komentar

Sample Text

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget