WAHABI TIDAK AMANAH MENYAMPAIKAN
ILMU
Oleh: Syaikh Idahram
Dusta Firanda
ke-28, 29 & 30, dia berkata:
“Perkataan
Al-Baidhoowi akan bolehnya sholat dekat kuburan dalam rangka mencari keberkahan
bertentangan dengan kesepakatan para
ulama besar madzhab As-Syafii. Padahal kita ketahui bersama bahwasanya
orang-orang yang ‘hobi’ memakmurkan
kuburan dan sholat di kuburan di tanah air kita rata-rata mengaku bermadzhab
As-Syafii.
Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafii berkata :
Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafii berkata :
‘Dan telah
sepakat teks-teks dari As-Syafii dan juga Ash-haab (*para ulama besar madzhab
syafiiyah) akan dibencinya membangun masjid di atas kuburan, sama
saja apakah sang mayat masyhur dengan kesholehan atau tidak karena keumuman
hadits-hadits (*yang melarang). Ay-Syafii dan para Ash-haab berkata, ‘Dan dibenci sholat ke arah kuburan, sama
saja apakah sang mayat orang sholeh ataukah tidak.’ Al-Haafizh Abu Muusa
berkata, ‘Telah berkata Al-Imaam Abul Hasan Az-Za’farooni rahimahullah: Dan
tidak boleh sholat ke arah kuburannya, baik untuk mencari barokah atau karena
pengagungan, karena hadits-hadits Nabi, wallahu A’lam.’ (Demikian
perkataan An-Nawawi dalam al-Majmuu’
syarh al-Muhadzdzab 5/289). Nukilan ini sangatlah tinggi nilainya dalam madzhab
As-Syafiiah.”[1]
Begitu kata
Firanda dalam websitenya. Seharusnya perkataan Imam Nawawi di atas diterjemahkan seperti ini:
“Dan teks-teks dari
Imam Syafii dan Ashab (para pengikutnya dari kalangan ulama) telah sepakat atas
(hukum) makruhnya membangun masjid di atas kuburan. Baik mayat itu terkenal
dengan keshalehannya atau pun tidak, karena keumuman hadis-hadis tersebut. Imam
Syafii dan Ashab berkata, ‘Dan makruh
(hukumnya) shalat ke (arah) kuburan, baik mayat itu orang shaleh atau pun
bukan.’ Al-Hafizh Abu Musa berkata, ‘Imam
Abu al-Hasan az-Za’farani
rahimahullah telah berkata, ‘Dan
(hendaknya) janganlah (seseorang) shalat ke (arah) kuburannya atau pun di
sisinya untuk mencari berkah dan mengagungkannya, karena adanya hadits-hadits
Nabi. Wallahu a’lam.’”
Silahkan
pembaca bandingkan arti dan maksudnya antara terjemahan kami dan terjemahan
Firanda sesuai teks yang ada. Dari nukilannya di atas terhadap perkataan Imam Nawawi,
ada beberapa hal yang menunjukan kebohongan Firanda:
Dusta pertama, harus diajukan pertanyaan kepada
Firanda, siapa saja para ulama besar Mazhab Syafii yang mengatakan shalat dekat
kuburan adalah haram? Karena klaim itu hanyalah bualan Firanda sendiri tanpa
bukti nyata sama sekali! Karena Imam al-Baidhawi adalah salah satu ulama besar
terkemuka Mazhab Syafi’i! Bahkan sebaliknya, para ulama besar Mazhab Syafii
tidak mengharamkan shalat di dekat kuburan! Sebagaimana insya Allah akan
dibahas kemudian.
Dusta kedua, kata “karohah” dalam
perkataan Imam Nawawi telah
diselewengkan maksud dan artinya oleh Firanda dari makna makruh yang bermakna tidak haram kepada
makna “dibenci” yang dia yakini sebagai haram. Mengartikan kata karohah sebagai haram dalam
masalah itu, justru bertentangan dengan pendapat para ulama terkemuka mazhab
Syafii.
Ketahuilah, pengertian kata karohah sebagai bukan haram ini sejalan dengan semua perkataan Imam Nawawi dalam kitab Majmu tersebut, bahkan dalam semua
kitab-kitab fikih bermazhab Syafii. Salah satu contohnya, penggunaan kata karohah dalam kitab tersebut bagi orang tidur dalam keadaan
junub tanpa berwhudhu terlebih dahulu, seperti di bawah ini:
Lihatlah, bagaimana penggunaan kata makruh/karohah di atas oleh Imam an-Nawawi dalam kitabnya al-Majmu, yang dijadikan rujukan oleh
Firanda namun artinya diselewengkan! Bagaimana mungkin imam an-Nawawi
menggunakan kata yang sama tetapi dengan makna yang berbeda dalam satu
kitabnya?! Di situ Imam Nawawi menggunakan kata yang sama, yaitu kata “karohah”. Dan sudah jelas dalam Fikih bahwa, tidur dalam keadaan junub
bukanlah perkara haram atau berdosa, melainkan hanya kurang baik atau kurang
disukai agama sebagai salah satu adab dalam tidur. Sebab tidak ada seorang
ulama pun yang mengatakan, orang junub berdosa jika dia tidur sebelum berwudhu! Apalagi, dalam ilmu Fikih kata karohah atau makruh sudah
menjadi istilah yang memiliki arti dan maksud tertentu. Sebagai seorang
akademisi, seharusnya Firanda telah mengerti itu.
Kitab Majmu’ karya Imam Nawawi yang terdiri dari 23 jilid ini berukuran 213 mega bite,
bisa diunduh dari website berpaham Wahabi di alamat ini:
http://www.waqfeya.com/book.php?bid=459
Nampaknya
perlu diperjelas di sini definisi dari istilah makruh dalam ilmu
Fikih. Menurut para ulama Fikih, makruh
atau karohah adalah sebagai berikut:
الكراهة: ما كان تركه أولى من فعله. كراهة تنزيهية: ما كانت إلى
الحل أقرب، وهي تقابل ترك السنة وهي المرادة عند الإطلاق عند الشافعية.
Makruh atau Karohah
adalah, meninggalkannya lebih utama daripada mengerjakannya. (Sedangkan) Karohah Tanzih adalah makruh yang lebih dekat kepada halal, ia
lawan (kata) dari meninggalkan Sunnah. Karohah Tanzih inilah yang dimaksud oleh
Mazhab Syafii ketika (mereka menyebut kata karohah) secara umum.[1]
Lebih detail
lagi, di bawah ini definisi kata Makruh atau Karohah menurut para ulama Fikih yang memang mereka sangat kompeten
di bidangnya, bukan asbun (asal
bunyi) seperti Firanda:
1. Imam asy-Syirazi dalam al-Lam’u berkata, makruh
adalah:
مَا تَرْكُهُ خَيْرٌ مِنْ فِعْلِهِ
“Apa-apa yang
(jika) itu ditinggalkan lebih baik daripada dikerjakan.”[2]
2. Imam ash-Shan’ani dalam kitab Ijabah as-Sa`il Syarh Bughyah al-Aamil hal 34:
مَا يَسْتَحِقُّ تَارِكُهُ الثَّوَابَ وَلاَ يَسْتَحِقُّ
فَاعِلُهُ الْعِقَابَ
3. Imam as-Subki dalam kitab al-Ibhaj jilid 1 hal. 60:
مَا مُدِحَ تَارِكُهُ وَلَمْ يُذَمُّ فَاعِلُهُ
“Apa-apa yang
(jika) meninggalkannya dipuji dan mengerjakannya tidak dicela.”[4]
4. Imam as-Sayuthi dalam kitab Syarh al-Kaukab as-Sathi’ dan Ibnu an-Najjar dalam Syarh al-Kaukab al-Munir:
خِطَابُ الشَّرْعِ الْمُقْتَضَي تَرْكَ الْفِعْلِ اِقْتِضَاءً
غَيْرَ جَازِمٍ
“Perkataan
agama yang meminta (untuk) tidak melakukan (sesuatu) dengan permintaan yang
tidak mesti.”[5]
Para ulama Fikih mendefinisikan
Makruh atau Karohah seperti itu bukan tanpa dalil, tetapi merujuk kepada
hadis-hadis Nabi s.a.w., contohnya seperti hadis ini:
[1]
Mu’jam Lughah al-Fuqaha 1/458.
[2]
Abu Ishaq Ibrahim ibnu Ali ibnu Yusuf al-Fairuzabadi asy-Syirazi, al-Lam’u
fi Ushul al-Fiqh, cet. ke-1, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut 1985, hal. 3.
[3] Imam ash-Shan’ani, Ijabah as-Sa`il Syarh
Bughyah al-Aamil, tahqiq Husein as-Siyagi & Dr. Hasan al-Ahdal, cet. ke-2, Muassasah ar-Risalah, Beirut 1988, hal. 34.
[4]
Ali ibnu al-Kafi as-Subki, al-Ibhaj, tahqiq sekelompok ulama dengan bimbingan penerbit,
cet. ke-1, dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut 1404 H., jilid 1, hal. 60.
[5] Jalaluddin as-Sayuthi, Syarh al-kaukab
as-Sathi’, tahqiq Prof. Dr. Muhammad Ibrahim al-Hafnawi, Maktabah al-Iman,
Manshurah-Mesir 2000, jilid 1 hal. 81. Ibnu an-Najjar al-hanbali (w. 972), Syarh al-Kaukab al-Munir, tahqiq Dr.
Muhammad az-Zuhaili dan Dr. Nazih Hamad, Maktabah al-Abikan 1993, jilid 1, hal.
341.
masukan.....
BalasHapus