Sabtu, 21 Juni 2014

WAHABI TIDAK AMANAH MENYAMPAIKAN ILMU
Oleh: Syaikh Idahram
 Para ulama Fikih mendefinisikan Makruh atau Karohah seperti itu bukan tanpa dalil, tetapi merujuk kepada hadis-hadis Nabi s.a.w., contohnya seperti hadis ini: “Sesungguhnya Allah memakruhkan bagi kalian (kariha lakum) kesia-siaan dalam shalat, perkataan jorok saat puasa dan tertawa di kuburan.” (HR. asy-Syihab dan Abdullah ibnu Mubarak).[1] Juga hadis shahih berbunyi:
Ø¥ِÙ†َّ اللَّÙ‡َ عَزَّ ÙˆَجَÙ„َّ Ø­َرَّÙ…َ عَÙ„َÙŠْÙƒُÙ…ْ عُÙ‚ُوقَ الْØ£ُÙ…َّÙ‡َاتِ ÙˆَÙˆَØ£ْدَ الْبَÙ†َاتِ ÙˆَÙ…َÙ†ْعًا ÙˆَÙ‡َاتِ ÙˆَÙƒَرِÙ‡َ Ù„َÙƒُÙ…ْ Ø«َÙ„َاثًا Ù‚ِيلَ ÙˆَÙ‚َالَ ÙˆَÙƒَØ«ْرَØ©َ السُّؤَالِ ÙˆَØ¥ِضَاعَØ©َ الْÙ…َالِ. (رواه البخاري ومسلم)
Sesungguhnya Allah s.w.t. mengharamkan atas kalian durhaka kepada ibu, menguburkan hidup-hidup anak perempuan, dan tidak suka memberi namun suka meminta-minta. Dan memakruhkan bagi kalian tiga perkara: desas-desus, banyak bertanya (yang tidak perlu) dan menghambur-hamburkan harta. (HR. Bukhari dan Muslim)[2]
Dari hadis di atas sangat jelas, Nabi s.a.w. membedakan antara kata “haram” dengan kata “makruh/karohah.” Bagaimana jadinya, jika hukum talak/mencerai isteri yang makruh diartikan haram? Berapa juta orang yang telah melakukan keharaman? Sungguh dengan itu Wahabi telah mengbok-obok syariat dan menjadi sumber fitnah di tengah umat Islam!
Namun, nampaknya Firanda menutupi kebenaran itu dan sengaja menyelewengkannya. Atau barangkali, dia sendiri tidak paham tentang istilah-istilah itu dalam ilmu Fikih, berhubung kuliahnya di jurusan Dakwah bukan jurusan Syariah (Fikih). Jika tidak mengerti tentang Fikih, hendaknya jangan banyak bicara tentang hukum, karena bisa mudah tergelincir. Jika fondasi dasarnya saja sudah rapuh, maka apa yang dibangun di atasnya menjadi jauh lebih rapuh dan sangat berbahaya, karena bisa menelan banyak korban tersesat.
Dusta ketiga, karena didorong oleh rasa penasaran, benar engga’ sih Mazhab Syafii seperti itu dalam kitab Imam Nawawi. Setahu kami tidak begitu. Moso’ para pengikutnya justru bertolak belakang dengan nasehat para ulamanya!
Maka, setelah  kami mengecek kitab yang sama yaitu kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab karya Imam Nawawi, astagfirullaah… justru kami mendapati penjelasan yang berbeda dengan klaim Firanda. Jusru Imam Nawawi berkata dalam kitabnya itu begini:
 
“Pengarang (Abu Ishaq asy-Syirazi) rahimahullah berkata, ‘Dan tidak shalat di kuburan karena adanya riwayat dari Abu Said r.a. bahwa Nabi s.a.w. bersabda: ‘Bumi semuanya masjid kecuali kuburan dan kamar mandi.’ Maka jika dia shalat di kuburan,
 
[dilihat (dahulu), jika kuburannya] sering terbongkar yang di dalamnya ada najis, (maka) tidak sah shalatnya, karena cairan mayat sudah bercampur dengan tanah. Jika kuburannya baru (dan) tidak terbongkar, (maka) shalatnya di kuburan makruh, karena kuburan itu tempat terkubur najis, adapun (hukum) shalatnya sah. Karena yang melakukan shalat (dalam keadaan) suci. Dan jika ragu-ragu, apakah terbongkar atau tidak? Maka dalam hal ini ada dua pendapat, salah satunya tidak sah shalatnya. Karena hukum asalnya adalah, adanya kewajiban dalam tanggung jawabnya dan dia ragu-ragu dalam menggugurkannya. Sedangkan kewajiban tidak (bisa) digugurkan dengan ragu-ragu. Pendapat kedua, (shalatnya) sah. Karena hukum asalnya adalah, sucinya bumi, maka tidak (bisa) dihukumi kenajisannya dengan ragu-ragu.
 
Adapun hukum masalah ini adalah, jika didapati kuburannya terbongkar, maka tidak sah shalatnya di kuburan, tanpa diperselisihkan, (itu pun) jika tidak dialasi di bawah (tempat shalat)nya sesuatu. Jika didapati tidak terbongkar, maka sah shalatnya, tanpa diperselisihkan, namun makruh karahah tanzih. Dan jika ragu dalam masalah terbongkarnya, maka ada dua pendapat: Yang paling benar dari keduanya adalah, sah shalatnya namun makruh. Pendapat kedua, tidak sah (karena terdapat najis). Demikianlah Jumhur Ulama menyebutkan perbedaan pendapat dalam masalah terakhir ini ada dua pendapat, sebagaimana telah disebutkan pengarang di sini. Di antara ulama yang menyebutkannya adanya dua pendapat adalah, asy-Syaikh Abu Hamid, al-Qadhi Abu ath-Thib dalam Ta’liqnya, al-Muhamili, asy-Syaikh Abu Ali al-Bandaniji, pengarang kitab asy-Syamil, ulama-ulama Irak dan mayoritas ulama-ulama Khurasan. Juga, dua pendapat ini telah dinukil oleh beberapa ulama di antaranya pengarang at-Tanbih dan pengarang al-Hawi. Dia berkata dalam al-Hawi: Yang berpendapat sah adalah Ibnu Abu Hurairah, sedangkan tidak sah adalah pendapat Abu Ishaq. Yang benar adalah, jalan orang yang mengatakan ada dua pendapat. Pengarang asy-Syamil berkata, telah berkata dalam al-Umm: tidak sah, dan telah berkata dalam 


al-Imla: sah, dan para ulama Syafi’i telah sepakat bahwa, yang paling benar adalah sah shalatnya. Dengan pendapat ini al-Jarjani memutuskan (hukumnya) dalam kitab at-Tahrir. Para ulama kami berkata: makruh (hukumnya) shalat ke (arah) kuburan, demikian mereka mengatakan makruh. Seandainya dikatakan: haram karena adanya hadis Abu Martsad dan lainnya sebagaimana (penjelasannya) telah berlalu tidak jauh, pengarang at-Tatimmah berkata: Adapun (yang haram adalah) shalat di kepala kuburan Rasulullah s.a.w. dengan menghadap kepadanya maka haram.[1]

Namun anehnya, karena kekeraskepalaannya, Firanda malah memaksakan pendapatnya yang keliru itu dengan berkata:
Peringatan: Sebagian pemakmur kuburan berdalil, dengan apa yang termaktub dalam kitab Roudhoh at-Thoolibiin karya Imam An-Nawawi, sebagaimana berikut ini:
‘Boleh bagi seorang muslim atau seorang kafir dzimmi untuk berwashiat untuk mengurus (*membangun) al-masjid al-aqsho dan masjid-masjid yang lainnya, dan juga untuk membangun kuburan para nabi, para ulama, dan sholihin, karena hal itu menghidupkan ziaroh dan bertabarruk dengan kuburan-kuburan tersebut.’ (Roudotut Thoolibiin, tahqiiq : Adil Ahmad Abdul Maujuud dan Ali Muhammad Mu’awwadl. Cetakan Daar ‘Aalam al-Kutub, juz 5 hal 94)
Kalau kita perhatikan di dalam perkataan Imam An Nawawi terkesan diperbolehkan bertabarruk (mencari barokah) dari kuburan. Maka apakah hal ini membatalkan kesepakatan Imam As-Syafii dan para ulama besar syafiiyah yang telah dinukil An-Nawawi dalam Al-Majmuu?? Jawabannya tentu adalah tidak.”
Begitulah tabiat kaum Salafi Wahabi, sudah salah ngotot lagi. Bukannya dia mikir dan berlapang dada, tetapi malah merasa paling benar, bahkan berani berbohong dalam menyalahkan orang lain! Maasyaa Allaah…
 

[1] Yahya ibnu Syaraf ad-Din an-Nawawi, op. cit., hal. 163-165.

[1] Hadis Marfu riwayat asy-Syihab al-Qadha’i dalam Musnadnya dan Abdullah ibnu Mubarak dalam kitab az-Zuhd wa ar-Raqa`iq.
[2] Shahih Bukhari, pada pembahasan Apa yang Dilarang dari Menghambur-hamburkan Harta, jilid 8 hal. 251, no. 2231. Shahih Muslim, pada pembahasan Larangan dari Banyak Bertanya Tanpa Kebutuhan, jilid 9 hal. 110, no. 3237. (Maktabah Syamilah).
 

Sample Text

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget