Sabtu, 21 Juni 2014

  • 22.17
  • Artikel, Makalah dan Informasi
  • 1 comment

WAHABI TIDAK AMANAH MENYAMPAIKAN ILMU
Oleh: Syaikh Idahram
Dusta Firanda ke-28, 29 & 30, dia berkata:
“Perkataan Al-Baidhoowi akan bolehnya sholat dekat kuburan dalam rangka mencari keberkahan bertentangan dengan kesepakatan para ulama besar madzhab As-Syafii. Padahal kita ketahui bersama bahwasanya orang-orang yang hobi memakmurkan kuburan dan sholat di kuburan di tanah air kita rata-rata mengaku bermadzhab As-Syafii. 
Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafii berkata :

Dan telah sepakat teks-teks dari As-Syafii dan juga Ash-haab (*para ulama besar madzhab syafiiyah) akan dibencinya membangun masjid di atas kuburan, sama saja apakah sang mayat masyhur dengan kesholehan atau tidak karena keumuman hadits-hadits (*yang melarang). Ay-Syafii dan para Ash-haab berkata, ‘Dan dibenci sholat ke arah kuburan, sama saja apakah sang mayat orang sholeh ataukah tidak.’ Al-Haafizh Abu Muusa berkata, ‘Telah berkata Al-Imaam Abul Hasan Az-Za’farooni rahimahullah: Dan tidak boleh sholat ke arah kuburannya, baik untuk mencari barokah atau karena pengagungan, karena hadits-hadits Nabi, wallahu A’lam. (Demikian perkataan An-Nawawi dalam al-Majmuu’ syarh al-Muhadzdzab 5/289). Nukilan ini sangatlah tinggi nilainya dalam madzhab As-Syafiiah.”[1]
Begitu kata Firanda dalam websitenya. Seharusnya perkataan Imam Nawawi di atas diterjemahkan seperti ini:
“Dan teks-teks dari Imam Syafii dan Ashab (para pengikutnya dari kalangan ulama) telah sepakat atas (hukum) makruhnya membangun masjid di atas kuburan. Baik mayat itu terkenal dengan keshalehannya atau pun tidak, karena keumuman hadis-hadis tersebut. Imam Syafii dan Ashab berkata, ‘Dan makruh (hukumnya) shalat ke (arah) kuburan, baik mayat itu orang shaleh atau pun bukan.’ Al-Hafizh Abu Musa berkata, ‘Imam Abu al-Hasan az-Za’farani rahimahullah telah berkata, ‘Dan (hendaknya) janganlah (seseorang) shalat ke (arah) kuburannya atau pun di sisinya untuk mencari berkah dan mengagungkannya, karena adanya hadits-hadits Nabi. Wallahu a’lam.’
Silahkan pembaca bandingkan arti dan maksudnya antara terjemahan kami dan terjemahan Firanda sesuai teks yang ada. Dari nukilannya di atas terhadap perkataan Imam Nawawi, ada beberapa hal yang menunjukan kebohongan Firanda:
Dusta pertama, harus diajukan pertanyaan kepada Firanda, siapa saja para ulama besar Mazhab Syafii yang mengatakan shalat dekat kuburan adalah haram? Karena klaim itu hanyalah bualan Firanda sendiri tanpa bukti nyata sama sekali! Karena Imam al-Baidhawi adalah salah satu ulama besar terkemuka Mazhab Syafi’i! Bahkan sebaliknya, para ulama besar Mazhab Syafii tidak mengharamkan shalat di dekat kuburan! Sebagaimana insya Allah akan dibahas kemudian.
Dusta kedua, kata “karohah” dalam perkataan Imam Nawawi telah diselewengkan maksud dan artinya oleh Firanda dari makna makruh yang bermakna tidak haram kepada makna dibenci yang dia yakini sebagai haram. Mengartikan kata karohah sebagai haram dalam masalah itu, justru bertentangan dengan pendapat para ulama terkemuka mazhab Syafii.
Ketahuilah, pengertian kata karohah sebagai bukan haram ini sejalan dengan semua perkataan Imam Nawawi dalam kitab Majmu tersebut, bahkan dalam semua kitab-kitab fikih bermazhab Syafii. Salah satu contohnya, penggunaan kata karohah dalam kitab tersebut bagi orang tidur dalam keadaan junub tanpa berwhudhu terlebih dahulu, seperti di bawah ini:
Lihatlah, bagaimana penggunaan kata makruh/karohah di atas oleh Imam an-Nawawi dalam kitabnya al-Majmu, yang dijadikan rujukan oleh Firanda namun artinya diselewengkan! Bagaimana mungkin imam an-Nawawi menggunakan kata yang sama tetapi dengan makna yang berbeda dalam satu kitabnya?! Di situ Imam Nawawi menggunakan kata yang sama, yaitu kata “karohah”. Dan sudah jelas dalam Fikih bahwa, tidur dalam keadaan junub bukanlah perkara haram atau berdosa, melainkan hanya kurang baik atau kurang disukai agama sebagai salah satu adab dalam tidur. Sebab tidak ada seorang ulama pun yang mengatakan, orang junub berdosa jika dia tidur sebelum berwudhu! Apalagi, dalam ilmu Fikih kata karohah atau makruh sudah menjadi istilah yang memiliki arti dan maksud tertentu. Sebagai seorang akademisi, seharusnya Firanda telah mengerti itu. 
 
Kitab Majmukarya Imam Nawawi yang terdiri dari 23 jilid ini berukuran 213 mega bite, bisa diunduh dari website berpaham Wahabi di alamat ini: http://www.waqfeya.com/book.php?bid=459
Nampaknya perlu diperjelas di sini definisi dari istilah makruh dalam ilmu Fikih. Menurut para ulama Fikih, makruh atau karohah adalah sebagai berikut:
الكراهة: ما كان تركه أولى من فعله. كراهة تنزيهية: ما كانت إلى الحل أقرب، وهي تقابل ترك السنة وهي المرادة عند الإطلاق عند الشافعية.
Makruh atau Karohah adalah, meninggalkannya lebih utama daripada mengerjakannya. (Sedangkan) Karohah Tanzih adalah makruh yang lebih dekat kepada halal, ia lawan (kata) dari meninggalkan Sunnah. Karohah Tanzih inilah yang dimaksud oleh Mazhab Syafii ketika (mereka menyebut kata karohah) secara umum.[1]
Lebih detail lagi, di bawah ini definisi kata Makruh atau Karohah menurut para ulama Fikih yang memang mereka sangat kompeten di bidangnya, bukan asbun (asal bunyi) seperti Firanda:
1.    Imam asy-Syirazi dalam al-Lam’u berkata, makruh adalah:
مَا تَرْكُهُ خَيْرٌ مِنْ فِعْلِهِ
Apa-apa yang (jika) itu ditinggalkan lebih baik daripada dikerjakan.[2]
2.    Imam ash-Shan’ani dalam kitab Ijabah as-Sa`il Syarh Bughyah al-Aamil hal 34:
مَا يَسْتَحِقُّ تَارِكُهُ الثَّوَابَ وَلاَ يَسْتَحِقُّ فَاعِلُهُ الْعِقَابَ
Apa-apa yang meninggalkannya berpahala dan pelakunya tidak diazab.”[3]
3.    Imam as-Subki dalam kitab al-Ibhaj jilid 1 hal. 60:
مَا مُدِحَ تَارِكُهُ وَلَمْ يُذَمُّ فَاعِلُهُ
Apa-apa yang (jika) meninggalkannya dipuji dan mengerjakannya tidak dicela.[4]
4.    Imam as-Sayuthi dalam kitab Syarh al-Kaukab as-Sathi’ dan Ibnu an-Najjar dalam Syarh al-Kaukab al-Munir:
خِطَابُ الشَّرْعِ الْمُقْتَضَي تَرْكَ الْفِعْلِ اِقْتِضَاءً غَيْرَ جَازِمٍ
Perkataan agama yang meminta (untuk) tidak melakukan (sesuatu) dengan permintaan yang tidak mesti.[5] 
Para ulama Fikih mendefinisikan Makruh atau Karohah seperti itu bukan tanpa dalil, tetapi merujuk kepada hadis-hadis Nabi s.a.w., contohnya seperti hadis ini:


[1] Mu’jam Lughah al-Fuqaha 1/458.
[2] Abu Ishaq Ibrahim ibnu Ali ibnu Yusuf al-Fairuzabadi asy-Syirazi, al-Lam’u fi Ushul al-Fiqh, cet. ke-1, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut 1985, hal. 3.
[3] Imam ash-Shan’ani, Ijabah as-Sa`il Syarh Bughyah al-Aamil, tahqiq Husein as-Siyagi & Dr. Hasan al-Ahdal, cet. ke-2, Muassasah ar-Risalah, Beirut 1988, hal. 34.
[4] Ali ibnu al-Kafi as-Subki, al-Ibhaj, tahqiq  sekelompok ulama dengan bimbingan penerbit, cet. ke-1, dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut 1404 H., jilid 1, hal.  60.
[5] Jalaluddin as-Sayuthi, Syarh al-kaukab as-Sathi’, tahqiq Prof. Dr. Muhammad Ibrahim al-Hafnawi, Maktabah al-Iman, Manshurah-Mesir 2000, jilid 1 hal. 81. Ibnu an-Najjar al-hanbali (w. 972), Syarh al-Kaukab al-Munir, tahqiq Dr. Muhammad az-Zuhaili dan Dr. Nazih Hamad, Maktabah al-Abikan 1993, jilid 1, hal. 341.
 


[1] http://firanda.com/index.php/artikel/bantahan/187

1 komentar:

Sample Text

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget