HUKUM MENGERASKAN ZIKIR MENURUT
SALAFI WAHABI
Oleh: Syaikh Idahram
1.
Syaikh Bin Baz (ulama
Salafi Wahabi nomor Wahid) mengatakan dalam fatwanya bahwa, mengeraskan suara zikir
adalah bagian dari sunnah Nabi s.a.w. dan para sahabatnya. Bahkan beliau
mengatakan,
“Dan bagi
orang di sekitarnya yang sedang mengerjakan shalat, maka yang lebih afdhal
baginya untuk merendahkan sedikit (bacaan shalatnya) sehingga tidak mengganggu
mereka (yang sedang berzikir), karena mengamalkan dalil-dalil lain terkait hal
itu… disyariatkannya mengeraskan zikir ketika
orang-orang selesai shalat wajib, dalam bentuk orang-orang
yang ada di pintu-pintu masjid (Nabawi) dan sekitar masjid dapat mendengarnya,
sehingga mereka mengetahui shalat (Nabi dan para sahabatnya) telah selesai
dengan adanya itu (suara zikir keras berjamaah).”
Fatwa tersebut juga termaktub dalam buku beliau berjudul Majmu Fatawa asy-Syaikh Ibnu Baz (kumpulan fatwa-fatwa Syaikh Bin Baz) pada
volume 11 halaman 206, sebagai
berikut:
ثبت في الصحيحين عن ابن عباس رضي
الله عنهما أن رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من الصلاة المكتوبة كان على عهد
رسول الله صلى الله عليه وسلم، قال ابن عباس رضي الله عنهما (كنت أعلم إذا انصرفوا
بذلك إذا سمعته). فهذا الحديث الصحيح وما جاء في معناه من حديث ابن الزبير
والمغيرة بن شعبة رضي الله عنهما وغيرهما كلها تدل على شرعية رفع الصوت بالذكر حين
ينصرف الناس من المكتوبة على وجه يسمعه الناس الذين عند أبواب المسجد وحول المسجد
حتى يعرفوا انقضاء الصلاة بذلك. ومن
كان حوله من يقضي الصلاة فالأفضل له أن يخفض قليلاً حتى لا يشوش عليهم، عملاً
بأدلة أخرى جاءت في ذلك. وفي رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من المكتوبة فوائد كثيرة: فيها إظهار
الثناء على الله سبحانه وتعالى على ما مَنَّ به عليهم من أداء هذه الفريضة
العظيمة. ومن ذلك تعليم للجاهل وتذكير للناسي، ولولا ذلك لخفيت السنة على كثير من
الناس. والله ولي التوفيق. (مجموع فتاوى بن باز : 11/206)
Telah disebutkan dalam kitab shahihain (shahih Bukhari & shahih
Muslim), dari jalur riwayat Ibnu Abbas radhiyallahu
anhuma (ia mengatakan), “Sesungguhnya mengeraskan zikir saat
selesai dari shalat wajib, itu telah ada di masa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam.” Ibnu
Abbas juga mengatakan, “Aku tahu selesainya shalat mereka (Nabi dan para sahabatnya) itu, saat kudengar (suara zikir keras
berjamaah) itu.”
Hadis shahih ini, dan hadis-hadis lain yang semakna dengannya, seperti hadis
riwayat Ibnuz Zubair, dan Al-Mughiroh ibnu Syu’bah radhiyallahu anhuma, semuanya
menunjukkan disyariatkannya mengeraskan zikir ketika orang-orang selesai shalat
wajib, dalam bentuk
orang-orang yang ada di pintu-pintu masjid (Nabawi) dan sekitar masjid dapat
mendengarnya, sehingga mereka mengetahui shalat (Nabi dan para sahabatnya)
telah selesai dengan adanya itu (suara zikir keras berjamaah).
“Dan bagi
orang di sekitarnya yang sedang mengerjakan shalat, maka yang lebih afdhal
baginya untuk merendahkan sedikit (bacaan shalatnya) sehingga tidak mengganggu
mereka (yang sedang berzikir), karena mengamalkan dalil-dalil lain terkait hal
itu.”
Dalam tuntunan mengeraskan zikir ketika
para jamaah selesai shalat wajib ini, ada banyak manfaat, diantaranya: menampakkan pujian kepada Allah ta’ala
yang telah memberikan mereka kenikmatan bisa menjalankan kewajiban yang agung
ini. (Sebagai sarana untuk) mengajari orang yang jahil dan mengingatkan orang yang lupa.
Jika saja tidak ada hal itu, tentunya sunnah ini akan jadi samar bagi banyak
orang. Wallahu
waliyyut taufiq.” Demikian kata Syaikh Bin Baz dalam fatwanya.
2.
Syaikh Muhammad ibnu Sholih al-Utsaimin (ulama
Salafi Wahabi nomor dua setelah Bin Baz) dalam kitab Majmu Fatawa wa Rasa`il asy-Syaikh Muhammad
Shalih al-Utsaimin (kumpulan fatwa-fatwa dan risalah-risalah Syaikh Ibnu
Utsaimin) volume 13 halaman 182-184 mengatakan:
إن الجهر بالذكر بعد الصلوات
المكتوبة سنة، دل عليها ما رواه البخاري من حديث عبد الله بن عباس – رضي الله عنهما
– أن رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من المكتوبة كان على عهد النبي صلى الله
عليه وسلم قال: “وكنت أعلم إذا انصرفوا بذلك إذا سمعته”. ورواه الإمام أحمد وأبو
داود. وهذا الحديث من أحاديث العمدة، وفي الصحيحين من حديث المغيرة بن شعبة – رضي
الله عنه – قال: سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول إذا قضى الصلاة: “لا إله إلا
الله وحده لا شريك له”. الحديث، ولا يسمع القول إلا إذا جهر به القائل. وقد اختار الجهر بذلك شيخـ الإسلام ابن تيميه -رحمه الله- وجماعة من السلف،
والخلف، لحديثي ابن عباس، والمغيرة رضي الله عنهم. والجهر عام في كل ذكر مشروع بعد
الصلاة سواء كان تهليلاً، أو تسبيحاً، أو تكبيراً، أو تحميداً لعموم حديث ابن
عباس، ولم يرد عن النبي صلى الله عليه وسلم التفريق بين التهليل وغيره بل جاء في
حديث ابن عباس أنهم يعرفون انقضاء صلاة النبي صلى الله عليه وسلم بالتكبير، وبهذا
يعرف الرد على من قال لا جهر في التسبيح والتحميد والتكبير. وأما من قال: إن الجهر
بذلك بدعة فقد أخطأ فكيف يكون الشيء المعهود في عهد النبي صلى الله عليه وسلم
بدعة؟!… وأما احتجاج منكر الجهر بقوله تعالى: (وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ
تَضَرُّعاً وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ
وَالْآصَالِ). فنقول له: إن الذي أمر أن يذكر ربه في نفسه تضرعاً وخيفة هو الذي
كان يجهر بالذكر خلف المكتوبة، فهل هذا المحتج أعلم بمراد الله من رسوله، أو يعتقد
أن الرسول صلى الله عليه وسلم يعلم المراد ولكن خالفه؟!… وأما احتجاج منكر الجهر
أيضاً بقوله صلى الله عليه وسلم: “أيها الناس اربعوا على أنفسكم”. الحديث فإن الذي
قال: “أيها الناس أربعوا على أنفسكم” هو الذي كان يجهر بالذكر خلف الصلوات
المكتوبة، فهذا له محل، وذاك له محل، وتمام المتابعة أن تستعمل النصوص كل منها في
محله… أما من قال: إن في ذلك تشويشاً فيقال له: إن أردت أنه يشوش على من لم يكن له
عادة بذلك، فإن المؤمن إذا تبين له أن هذا هو السنة زال عنه التشويش، إن أردت أنه
يشوش على المصلين، فإن المصلين إن لم يكن فيهم مسبوق يقضي ما فاته فلن يشوش عليهم
رفع الصوت كما هو الواقع، لأنهم مشتركون فيه. وإن كان فيهم مسبوق يقضي فإن كان
قريباً منك بحيث تشوش عليه فلا تجهر الجهر الذي يشوش عليه لئلا تلبس عليه صلاته،
وإن كان بعيداً منك فلن يحصل عليه تشوش بجهرك. وبما ذكرنا يتبين أن السنة رفع
الصوت بالذكر خلف الصلوات المكتوبة، وأنه لا معارض لذلك لا بنص صحيح ولا بنظر
صريح، وأسأل الله تعالى أن يرزقنا جميعاً العلم النافع والعمل الصالح، إنه قريب
مجيب، وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.
Sesungguhnya mengeraskan zikir saat selesai shalat
wajib adalah sunnah, hal itu telah diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari, dari hadisnya Abdullah ibnu Abbas radhiyallahu anhuma (ia mengatakan), “Sesungguhnya mengeraskan zikir saat
selesai dari shalat wajib, itu telah ada di masa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam.” Ibnu
Abbas juga mengatakan, “Aku tahu selesainya shalat mereka itu,
saat kudengar (suara zikir keras berjamaah) itu”. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud. Hadis ini
termasuk diantara hadis-hadis utama (dalam masalah ini).
Dalam kitab shahihain, dari hadisnya al-Mughirah ibnu Syu’bah radhiyallahu
‘anhu, ia berkata, “Aku pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika
selesai shalat (wajib), beliau membaca zikir “lâ ilâha illawlâhu wahdahû lâ syarîka lah…” (al-Hadis). Dan dia tidak akan mendengar bacaan zikir itu kecuali orang yang
mengucapkannya mengeraskan suaranya. (Bahkan) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan sekelompok ulama salaf telah memilih
pendapat (sunnahnya) mengeraskan zikir, dengan dasar dua hadis, yakni hadisnya Ibnu Abbas dan al-Mughirah radhiyallahu
‘anhum.
Mengeraskan zikir di sini, berlaku umum
untuk semua zikir setelah shalat yang disyariatkan, baik itu berupa tahlil, atau tasbih, atau takbir, atau tahmid. Karena umumnya redaksi hadis
Ibnu Abbas. Dan tidak ada keterangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang
membedakan antara tahlil dan yang lainnya. Bahkan dalam hadisnya Ibnu Abbas
dikatakan, bahwa para sahabat dahulu tahu selesainya shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan
takbir. Keterangan ini, membantah orang yang berpendapat tidak bolehnya
mengeraskan suara kecuali pada tasbih, tahmid dan takbir.
Adapun orang yang mengatakan, bahwa
mengeraskan (zikir setelah shalat) itu bid’ah, maka sungguh ia salah, karena
bagaimana mungkin sesuatu yang ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dikatakan
bid’ah?!
Adapun orang yang mengingkari amalan
mengeraskan (zikir setelah shalat ini) dengan firman-Nya: “Sebutlah (wahai Muhammad) nama Tuhanmu di dalam
dirimu, dengan rendah hati dan suara yang lirih serta tidak mengeraskan suara,
ketika pagi dan petang. Dan janganlah kamu menjadi orang yang lalai” (QS. al-A’raf [7]: 205). Maka bisa dijawab dengan mengatakan: Sesungguhnya orang yang telah diperintahkan untuk berzikir dalam dirinya dengan rendah hati dan suara lirih
(yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam), beliau juga orang yang telah mengeraskan zikir setelah shalat wajib.
Lalu apakah orang itu (orang yang mengingkari zikir keras
berjamaah) lebih tahu maksud Allah dalam ayat itu
melebihi rasul-Nya?! Ataukah ia beranggapan bahwa Rasululullah shallallahu
‘alaihi wasallam sebenarnya tahu maksud ayat itu,
tapi beliau sengaja menyelisihinya?!
Adapun orang yang mengingkari amalan
mengeraskan (zikir setelah shalat ini) dengan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam: “Wahai manusia, sayangilah diri kalian, karena
kalian tidaklah berdoa kepada Dzat yang tuli…! (sampai akhir hadis)”.
Maka bisa dijawab dengan mengatakan: Sesungguhnya orang yang menyabdakan hal
itu, dia juga orang yang dulunya mengeraskan zikir setelah shalat wajib ini. Itu berarti,
tuntunan ini punya tempatnya masing-masing, sedangkan yang itu juga ada tempatnya masing-masing. Dan sempurnanya mengikuti sunnah beliau adalah dengan memakai semua nash yang ada, pada tempatnya
masing-masing.
Adapun orang yang mengatakan bahwa
amalan itu bisa mengganggu orang lain, maka bisa dijawab dengan mengatakan
padanya: Jika maksudmu akan mengganggu orang yang tidak biasa dengan hal itu, maka
hal itu akan hilang (dengan sendirinya), ketika ia tahu bahwa amalan itu adalah
sunnah.
Jika maksudmu akan mengganggu jama’ah
yang lain, maka jika tidak ada ma’mum yang masbuq,
tentu hal itu tidak akan mengganggu mereka, sebagaimana fakta di lapangan.
Karena mereka sama-sama mengeraskan zikirnya.
Adapun jika ada ma’mum masbuq yang sedang menyelesaikan shalatnya,
maka jika ia dekat denganmu hingga kamu bisa mengganggunya dengan (kerasnya)
suara zikirmu, maka janganlah kamu meninggikan suara dengan tingkatan
suara yang bisa mengganggunya, agar kamu tidak mengganggu shalatnya.
Sedang jika ia jauh darimu, maka tentu kerasnya suara (zikir)-mu tidak akan
mengganggunya sama sekali.
Dengan keterangan yang kami sebutkan di
atas, menjadi jelas bagi kita, bahwa mengeraskan zikir setelah shalat wajib
adalah sunnah. Hal itu sama sekali tidak bertentangan dengan nash yang shahih, maupun dengan sisi pendalilan
yang jelas.
Aku memohon kepada Allah, semoga Dia
memberikan kita semua ilmu yang bermanfaat dan amal shalih, sesungguhnya Dia itu maha dekat lagi
maha mengabulkan doa. Semoga Allah s.w.t. senantiasa mencurahkan shalawat dan
salamnya kepada nabi kita Muhammad, keluarganya dan sahabatnya semua.” Demikian
kata Syaikh Ibnu Utsaimin dalam fatwanya.
3. Fatawa
Lajnah Da’imah (Fatwa-fatwa Dewan Tetap Salafi
Wahabi), Lembaga Semacam MUI di Indonesia
يُشرَع رفع الصوت بالذكر بعد الصلاة المكتوبة، لما ثبت من حديث ابن عباس رضي
الله عنهما قال: (إن رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من المكتوبة كان على عهد
النبي صلى الله عليه وسلم) وأنه قال أيضا: (كنت أعلم إذا انصرفوا بذلك إذا سمعته)
ولو وجد أناس يقضون الصلاة سواء كانوا أفرادا أو جماعات وذلك في جميع الصلوات
الخمس المفروضة.
Disyariatkan untuk mengeraskan zikir
setelah shalat wajib, karena adanya keterangan yang shahih dari hadis Ibnu Abbas radhiyallahu
anhuma, (ia mengatakan), “Sesungguhnya mengeraskan zikir saat
selesai dari shalat wajib, itu telah ada di masa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam.” Ibnu
Abbas juga mengatakan, “Aku tahu selesainya shalat mereka itu,
saat ku dengar (suara zikir keras berjamaah) itu”.
(Mengeraskan zikir setelah shalat wajib
tetap disunnahkan), meski ada orang-orang yang masih menyelesaikan shalatnya,
baik mereka itu (menyelesaikan shalatnya secara) sendiri-sendiri atau dengan
berjama’ah. Dan hal itu (yakni mengeraskan zikir) disyariatkan pada semua shalat
wajib yang lima waktu.
4.
Fatwa Ulama
Wahabi: Abdullah ibnu Muhammad Al-Ghunaiman dalam bukunya Syarah Fath
al-Majid Syarh Kitab at-Tauhid
السؤال: هل يجوز
رفع الصوت بالذكر بعد صلاة المغرب إذا كان في ذلك تشويش على المصلين مع أنه سنة؟
الجواب: يجوز ذلك، وقد كان الرسول صلى الله عليه وسلم والصحابة يفعلونه، حتى أخبر
ابن عباس أن المسجد يرتج.والسنة لا تترك لأجل أمر آخر، وهذه السنة لا تترك لأنه
يشوش على غيره.
)الكتاب : شرح
كتاب التوحيد
المؤلف : عبد الله بن
محمد الغنيمان(
Pertanyaan: Bolehkah mengeraskan suara
bacaan zikir sesudah shalat maghrib, yang dengan itu dapat mengganggu
orang-orang shalat, padahal mengeraskan zikir adalah sunnah?’
Jawaban: Boleh, karena
sesungguhnya Rasulullah
s.a.w. dan para
sahabatnya
melakukan itu,
sampai-sampai Ibnu Abbas mengabarkan bahwa, mesjid
bergemuruh (oleh suara zikir). Lagi pula, sunnah tidak boleh ditinggalkan hanya
karena ada perintah yang lain. Berarti, sunnah ini tidak boleh dikesampingkan
hanya karena menggangu orang lain.[1]
5. Syaikh
Sulaiman ibnu Sahman, ulama
Salafi Wahabi:
وأجاب الشيخ
سليمان بن سحمان: قد رأيت ورقة لا أعرف من قالها، ولكن لما كان في نقله ما يشعر
بردالنصوص الواردة في الجهر بالذكر حين ينصرف الناس من المكتوبة، وسمى هذه
المتروكة تشويشاً على الناس، وجعلها من البدع والمحدثات، فيقال لهذا الجاهل: ليس
ما ثبت في الصحيح عن النبي صلى الله عليه وسلم مما سنه رسول الله صلى الله عليه
وسلم من الجهر بالذكر بعد المكتوبة تشويشاً على الناس؛ بل هذا القول هو التشويش
على الناس والتلبيس عليهم، بل هو من أبطل الباطل وأعظم المنكرات، لأن ذلك دفع في
نحر النصوص، ورد لها بالتمويه والسفسطة، والقول بلا علم، وقلب للحقائق؛ فإن هذا
القول لا يقوله من في قلبه تعظيم للنصوص وتوقير لها.(الكتاب : الدرر السنية في الكتب النجدية جزء 4)
Syaikh
Sulaiman bin Sahman menjawab (tentang
mengeraskan suara zikir berjamaah), “Aku pernah melihat
selembar kertas yang tidak
kukenal penulisnya. Namun ketika
dirasakan dalam penukilannya itu adanya
penolakkan terhadap nash-nash
mengeraskan zikir sesudah
orang-orang selesai shalat wajib, dan (si penulis) menamakan tradisi sunnah itu sebagai mengganggu manusia,
bahkan menebutnya sebagai bid’ah
dan mengada-ngada, maka kita katakan kepada si dungu
itu: “Bukanlah
apa yang telah tsabit (jelas dan tetap) keshahihannya dari Nabi s.a.w. dari
sunnahnya tentang mengeraskan zikir setelah shalat wajib dikatakan sebagai
mengganggu manusia, tetapi ucapan seperti inilah yang disebut mengganggu dan
menipu manusia. Bahkan inilah sebatil-batilya kebatilan dan sebesar-besarnya kemunkaran. Karena semua
perkataannya itu (hanyalah) pembelaan untuk mencabik-cabik nash, penolakan
dengan penuh kepalsuan dan kebatilan, ocehan tanpa ilmu dan penjungkir balikkan
kebenaran. Sesungguhnya perkataan seperti itu tidak keluar dari hati orang yang
mengagungkan dan menghormati nash. (kitab ad-Durar as-Sanniyyah
fi al-Kutub
an-Najdiyyah
jilid 4)
PENDAPAT PARA ULAMA AHLUSSUNNAH
WAL JAMAAH
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا قَالَ: كُنْتُ أَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالتَّكْبِيرِ. (رواه البخاري 797 ومسلم 917)
Dari Ibnu Abbas r.a.
mengatakan: “Aku mengetahui, kalau shalat (berjamaah yang dipimpin) Nabi s.a.w.
itu telah selesai, tandanya adalah dari (terdengarnya suara nyaring) takbir
(secara berjamaah).” (Shahih Bukhari: 797, dan Shahih Muslim: 917)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا قَالَ: إِنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ
النَّاسُ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ: كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا
سَمِعْتُه. (رواه البخاري 796 ومسلم 919)
Dari Ibnu
'Abbas r.a. mengatakan bahwa,
mengeraskan suara dzikir, setelah orang-orang selesai menunaikah shalat fardhu,
telah terjadi di masa Nabi s.a.w. Beliau mengatakan, Aku menjadi tahu, kalau
mereka telah selesai shalat berjamaah bersama Nabi, dari kerasnya suara dzikir
yang aku dengar itu. (Shahih Bukhari: 796, dan Shahih Muslim: 919)
Penjelasan hadis di atas oleh para ulama Ahlussunnah wal Jamaah, diantaranya:
1.
Imam Nawawi
هَذَا دَلِيل لِمَا قَالَهُ بَعْض
السَّلَف أَنَّهُ يُسْتَحَبّ رَفْع الصَّوْت بِالتَّكْبِيرِ وَالذِّكْر عَقِب
الْمَكْتُوبَة. وَمِمَّنْ اِسْتَحَبَّهُ مِنْ الْمُتَأَخِّرِينَ اِبْن حَزْم
الظَّاهِرِيّ.
Hadis ini merupakan dalil pendapatnya
sebagian ulama salaf, yang mengatakan disunnahkannya mengeraskan takbir dan
dzikir saat selesai sholat wajib. Diantara muta’akhkhirin yang juga
men-sunnah-kannya adalah Ibnu Hazm azh-Zhohiri.
2.
Ibnu Hazm.
ورفع الصوت بالتكبير إثر كل صلاة حسن
“Mengeraskan suara dengan bertakbir pada
dzikir sesudah shalat adalah suatu amalan yang baik.” (Al Muhalla, 4: 260)
3.
Ibnu Huzaimah
Beliau memasukkan hadis di atas dalam
kitab shohih-nya, dan memberinya judul:
باب: رفع الصوت بالتكبير والذكر عند
انقضاء الصلاة
Bab:
Mengeraskan takbir dan dzikir saat selesai sholat (wajib).
Ini menunjukkan, bahwa beliau memahami
bolehnya mengeraskan takbir dan dzikir saat selesai sholat wajib.
4. al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani, ketika men-syarah hadis di atas beliau
mengatakan:
وَفِيهِ دَلِيل عَلَى جَوَاز
الْجَهْر بِالذِّكْرِ عَقِب الصَّلاة
Dalam hadis ini terdapat dalil bolehnya
mengeraskan dzikir setelah sholat (Fathul Bari).
5.
Ibnu Daqiq al-Id, juga
menyatakan hal yang sama:
فيه دليل على جواز الجهر بالذكر عقيب
الصلاة والتكبير بخصوصه من جملة الذكر
Dalam hadis ini, terdapat dalil bolehnya
mengeraskan dzikir setelah sholat, dan takbir secara khusus termasuk dalam
kategori dzikir. (Ihkamul Ahkam Syarah Umdatul Ahkam)
6.
Ath Thabari berkata,
فيه الإبانه عن صحة ما كان يفعله الأمراء
من التكبير عقب الصلاة
“Hadis ini sebagai isyarat benarnya
perbuatan para imam yang bertakbir setelah shalat.” (lihat: kitab Fathul Bari,
2: 325)
7.
Jalaluddin as-Suyuthi
Al-Imam
Jalaluddin as-Suyuthi rahimahullah pernah
ditanya oleh muridnya, sebagaimana beliau tuliskan dalam kitab fatawanya al-Hawi li alFatawi pada Sub Bab
berjudul Natijat al-Fikr fi al-Jahr fi
adz-Dzikr :
“Aku bertanya kepadamu (wahai Syaikh as-Suyuthi) semoga
Allah s.w.t. memuliakanmu, mengenai suatu hal yang umum dilakukan para pemuka
shufiyyah yang menyelenggarakan halaqah zikir, men-jahr-kannya di dalam masjid,
dan mengeraskan suaranya dengan bacaan tahlil, apakah hal yang demikian ini
makruh atau tidak?
Sesungguhnya hal yang demikian ini tidak dihukumi makruh
sama sekali, dan sungguh terdapat banyak riwayat hadis-hadis yang menunjukkan
disunnahkannya berzikir secara jahr
(keras), selain itu terdapat pula hadis-hadis yang menunjukkan disunnahkannya
berzikir secara sirr (pelan) sehingga
perlu dikompromikan kedua cara berzikir tersebut, yang mana hal tersebut
dilaksanakan berbeda-beda menurut keadaan dan masing-masing pribadi.
Sebagaimana al-Imam an-Nawawi mengkompromikan hadis-hadis tentang
disunnahkannya membaca al-Qura’n secara jahr, dan (hadis-hadis) yang
menyebutkan tentang disunnahkannya membaca al-Qur’an secara sirr, berikut ini
akan saya jelaskan secara fasal demi fasal.”
Lalu
beliau menyampaikan beberapa hadis shahih di antaranya:
أخرج البخاري عن
أبي هريرة قال : (( قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللَّهُ
تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي
فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ
خَيْرٍ مِنْهُم )) والذكر في الملإ لا يكون إلا عن جهر.
Bukhari
mengeluarkan dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda, “Allah s.w.t berfirman: ‘Aku menurut
sangkaan hamba-Ku
kepada-Ku,
Aku bersamanya bila dia menyebut-Ku. Kalau dia menyebut-Ku dalam
dirinya Aku-pun menyebut
dia dalam diri-Ku
(siir). Dan bila dia menyebut-Ku
dalam sebuah jama’ah, Aku-pun
menyebut dia dalam jama’ah yang lebih baik (banyak) dari jama’ah dia.’” (Syaikh
mengomentari hadits ini): “zikir dalam
jama’ah tidak terjadi
kecuali dengan jahar (suara keras).”
:
أخرج بقي بن مخلد عن عبد الله بن عمرو : أن النبي
- صلى الله عليه وسلم دخل المسجد فرأى مجلسين أحد المجلسين يذكرون الله تعالى ويرغبون
إليه، والآخر يعلمون العلم فقال - صلى الله عليه وسلم -: «كلا المجلسين على خير وأحدهما
أفضل من الآخر. (أخرجه الطيالسي في مسنده (ص: 298،رقم 2251)،والبزار في مسنده
(6/428،رقم 2458)،والحارث كما في بغية الباحث (1/185،رقم 40) عن ابن عمرو)
Diriwayatkan oleh Baqi ibnu Makhlad, dari ‘Abdullah ibnu Umar radhiyallaah ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaih wa sallam melewati dua majelis, salah satu dari
majelis menyeru dan mengagungkan Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Dan majelis yang satunya mengajarkan ilmu. Kemudian beliau s.a.w. bersabda, “Kedua-duanya sangat baik, akan tetapi salah satunya lebih utama (daripada majelis yang
satunya).” (HR. al-Bazzar dalam Musnadnya
jilid 6 hal. 428 nomor hadis 2458, ath-Thayalisi dalam Musnadnya hal. 298 nomor hadis 2251, al-Harits dalam Bughyah al-Bahits jilid 1 hal. 185 nomor
hadis 40)
أَكْثِرُوْا ذِكْرَ اللهِ حَتَّى يَقُوْلُوْا
مَجْنُوْنٌ (رواه أحمد والبيهقي وأبو يعلى عن أبي
سعيد مرفوعا وكذا ابن حبان والحاكم وابن معين وصححوه)
“Perbanyaklah kalian menzikirkan Allah hingga mereka mengatakan
gila.” (HR. Ahmad, Baihaqi, Abu Ya’la dari Abu Said al-Khudri secara marfu. Hadis
ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Hakim dan Ibnu Muin, mereka telah menshahihkan
hadis tersebut)
أَكْثِرُوْا ذِكْرَ اللهِ حَتَّى يَقُوْلَ
الْمُنَافِقُوْنَ إِنَّكُمْ مُرَاؤُوْنَ. (رواه البيهقي عن أبي الجوزاء رفعه مرسلا)
“Perbanyaklah kalian menzikirkan Allah hingga orang-orang munafik
mengatakan, ‘sesungguhnya kalian orang-orang riya (pamer).’” (HR. Baihaqi dari Abu
al-Jauza sebagai hadis Marfu Mursal).
Wallâhu a’lam bi sh-shawâb.
Izin copy paste
BalasHapus