PENDAPAT ULAMA
TENTANG AZAN BAGI BAYI BARU LAHIR
Mayoritas ulama mazhab yang empat, yakni mazhab
Hanafi, Syafi'i, Hanbali dan sebagian ulama mazhab Maliki sepakat bahwa, azan bagi bayi yang baru lahir adalah bagian dari sunnah Nabi s.a.w. dan Salaf telah melakukan itu.
Itulah salah satu sebab yang menjadikan Prof. Dr.
Hisamuddin ibnu Musa Afanah, Profesor dalam bidang Fikih dan Ushul Fikih di
Universitas al-Quds Palestina, berfatwa bahwa azan bagi bayi yang baru lahir
adalah bagian dari sunnah Nabi s.a.w. ketika beliau ditanya tentang hukum
tersebut.[1]
Begitu juga dengan Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaily,
ulama ahli fiqih kontemporer abad 20 menuliskan dalam kitabnya Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuh bahwa
selain digunakan untuk shalat, azan juga dikumandangkan pada beberapa even
lain, salah satunya adalah untuk mengazankan bayi yang baru lahir.[2]
PARA FUQAHA/ULAMA
YANG MENYATAKAN SUNNAH
1.
Ulama Mazhab Empat
Umumnya para ulama di dalam Mazhab al-Hanafiyah,
Asy-Syafi’iyah[3] dan Al-Hanabilah[4] menyunnahkan azan untuk bayi yang baru lahir, yaitu
pada telinga kanan dan iqamat dikumandangkan pada telinga kirinya. Begitu juga
dengan sebagian ulama dari kalangan Mazhab Al-Malikiyah.[5]
2.
Umar bin Abdul Aziz (wafat 720 M)
Diriwayatkan daam kitab Mushannaf Abdurrazzaq bahwa
Umar bin Abdul Aziz apabila mendapatkan kelahiran anaknya, beliau mengazaninya
pada telinga kanan dan mengiqamatinya pada telinga kiri. Penjelasan tentang ini
terdapat juga dalam kitab Nail al-Awthar.[6]
3.
Hasan al-Bashri, Ulama Salaf dari kalangan Tabi’in (wafat 728 M)
Imam Hasan al-Bashri menyatakan bahwa, beliau
melakukan pengazanan bagi bayi yang baru lahir. Telah diriwayatkan dari Ibnu
al-Mundzir dari Umar ibnu Abdul Aziz bahwa jika anaknya lahir, Umar ibnu Abdul
Aziz mengazankan bayinya di telinga kanannya dan mengiqamatkannya di telinga
sebelah kirinya.[7]
4.
Ibnu Qudamah Pembesar Mazhab Hanbali
Sedang Ibnu
Qudamah[8] salah
seorang ulama besar Mazhab Hanbali (yang diklaim oleh kaum Salafi Wahabi
sebagai Mazhab Mereka), penulis kitab al-Mughni itu berkata pada jilid 7
halaman 46):
فَصْلٌ : قَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْم : يُسْتَحَبُّ
لِلْوَالِدِ أَنْ يُؤَذِّنَ فِي أُذُنِ ابْنِهِ حِينَ يُولَدُ ؛ لِمَا رَوَى
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَافِعٍ ، عَنْ أُمِّهِ ، { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ } .
Fasal: “
Berkata sebagian ahli Ilmu,” Disukai (disunnahkan) bagi orang tua untuk
mengazani telinga anaknya ketika baru lahir, berdasar kepada riwayat Abdullah
bin Rafi’ dari ibunya, bahwasanya Rasulullah SAW. mengazani di telinga al-Hasan
ketika ia dilahirkan oleh Fathimah”.[9]
Ibnu Qudamah sebagai salah satu icon ulama mazhab
Al-Hanabilah menuliskan tentang masalah ini di dalam kitab fiqihnya yang
fenomenal, Al-Mughni.
قال
بعض أهل العلم: يستحب للوالد أن يؤذن في أذن ابنه حين يولد
Sebagian ahli ilmu
berpendapat hukumnya mustahab (disunnahkan) bagi seorang ayah untuk mengumandangkan
azan di telinga anaknya ketika baru dilahirkan.[10]
5.
Ibnul Qayyim al-Jauziyah (salah seorang ulama rujukan Salafi Wahabi)
Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah menuliskan dalam
kitabnya, Tuhfatul Maudûd bi Ahkâmil
Maulûd, bahwa azan pada telinga bayi dilakukan dengan alasan agar kalimat
yang pertama kali didengar oleh seorang anak manusia adalah kalimat yang
membesarkan Allah SWT, juga tentang syahadatain, dimana ketika seseorang masuk
Islam atau meninggal dunia, juga ditalqinkan dengan dua kalimat syahadat.[11] Dalam
kitab Tuhfat al-Maudud tersebut
beliau membuat satu bab yang menyunnahkan azan bagi bayi yang baru dilahirkan
sebagai berikut:
"الباب الرابع في استحباب التأذين في أذنه اليمنى والإقامة
في أذنه اليسرى "
“Bab
IV mengenai disunnahkannya azan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri.”[12]
6.
Syaikh Abdullah bin Baz (Ulama Salafi Wahabi Kontemporer Nomor Wahid)
Syeikh Abdul Aziz ibnu Abdullah ibnu Baz ketika
ditanya tentang mengazani bayi pada telinga kanan dan mengiqamati pada telinga
kiri, beliau menjawab sebagaimana tertuang dalam situsnya :
هَذَا
مَشْرُوْعٌ عِنْدَ جَمْعٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ وَقَدْ وَرَدَ فِيْهِ بَعْضُ اْلأَحَادِيْثُ
وَفِيْ سَنَدِهَا مَقَالٌ فَإِذَا فَعَلَهُ الْمُؤْمِنُ حَسَنٌ ِلأَنَّهُ مِنْ بَابِ
السُّنَنِ وَمِنْ بَابِ التَّطَوُّعَاتِ
Ini
perbuatan masyru' (disyariatkan) menurut pendapat semua ahli ilmu dan memang
ada dasar haditsnya, meskipun dalam sanadnya ada perdebatan.
Tetapi bila seorang mukmin melakukannya maka
hal itu baik, karena merupakan bagian dari pintu-pintu sunnah dan pintu-pintu
tathawwu'at (amalan sunnah/mustahab).[13]
7. Pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin (Ulama
Salafi Wahabi Kontemporer Nomor Dua setelah Syaikh Bin Baz)
Dalam bukunya
berjudul Majmu Fatawa wa Rasa`il
asy-Syaikh al-Utsaimin (kumpulan fatwa dan Risalah Syaikh Ibnu Utsaimin),
Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang hukum azan bagi bayi baru lahir
seperti ini teksnya:
س177: سئل فضيلة الشيخ- رحمه الله-:
يقوم بعض الناس عندما يرزق بمولود بالتأذين في أذنه اليمنى والإقامة في اليسرى فهل
هذا ورد في السنة؟
“Pertanyaan nomor 177: Yang Mulia asy-Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahullah ditanya: Sebagian orang ketika dikarunia kelahiran bayi melakukan
azan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri, apakah hal ini terdapat dalam
Sunnah?”
فأجاب رحمه الله- بقوله: هو وارد في
السنة لكن أحاديث الإقامة ضعيفة، أما الأذان فهي أقوى، فلهذا نقول: يؤذن في أذنه
اليمنى أول ما يولد، وغالب الناس الآن أنهم لا يتمكنون من هذا لأن الأولاد تولدهم الممرضات في المستشفى، لكن إذا
كان الإنسان قد حضر الولادة فإنه ينبغي أن يؤذن في أذنه اليمنى، ولكن ليس بصوت
مرتفع حتى لا تتأثر الأذن، قال العلماء: من أجل أن يكون أول ما يطرق سمعه الأذان والدعوة
إلى الصلاة.
Lalu Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjawab dengan
mengatakan, “Hal itu ada dalam Sunnah, tetapi hadis-hadis iqamat (di telinga
kiri) adalah lemah. Adapun (hadis-hadis) azan (di telinga kanan bayi) lebih
kuat. Oleh karena itu kami katakan, (bayi hendaknya) diazankan di telinganya
yang kanan pada saat ia baru dilahirkan. Kebanyakan orang saat ini
tidak sempat melakukan itu, karena mereka melahirkannya di rumah sakit oleh
para dokter. Tetapi jika seseorang dapat menghadiri kelahiran
bayinya, maka hendaknya dia mengazankan (bayinya) di telinganya yang kanan,
namun tidak dengan suara keras sehingga tidak merusak telinga bayi. Para ulama
berkata, hal itu supaya suara yang pertama kali didengar oleh bayinya adalah
azan dan panggilan untuk shalat.[14]
8. As-Sayyid Sabiq
Pengarang Kitab Fiqh as-Sunnah.
As-Sayyid
Sabiq yang kitab Fiqh Sunnahnya dijadikan acuan oleh beberapa Perguruan Tinggi
Islam merupakan ulama yang menyunnahkan dibacakan azan ini bagi bayi yang baru
lahir. Dalam kitabnya itu ia menulis :[15]
الاذان في أذن المولود: ومن السنة أن يؤذن في أذن المولود
اليمنى، ويقيم في الاذن اليسرى، ليكون أول ما يطرق سمعه اسم الله.
“Azan di
telinga bayi yang baru dilahirkan: Termasuk sunnah untuk mengazani telinga
kanan dan mengiqamahi telinga kiri bayi yang baru dilahirkan, supaya yang
pertama kali didengar telinga anak adalah Asma Allah s.w.t.”
9. Pendapat Prof. Dr. Wahbah Zuhaily,
Pakar Fikih Kontemporer asal Syria.
Ulama
kontemporer, Wahbah az-Zuhaily juga menyunnahkan azan ini dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami Wa adillatuhu.[16]
يستحب للوالد أن يؤذِّن في أذن المولود اليمنى، وتقام الصلاة في
اليسرى حين يولد ) الفقه الإسلامي وأدلته
“Disunnahkan bagi
orang tua untuk mengazani di telinga kanan bayi yang baru dilahirkan dan
diiqamati seperti iqamat untuk shalat di telinga kirinya.”[17]
10. Imam an-Nawawi, ulama terkemuka
Mazhab Syafi’i.
Imam an-Nawawi
dalam kitabnya al-Majmu’ pada
jilid 8 halaman 443 menyatakan :
قال جماعة من أصحابنا يستحب أن يؤذن في اذنه اليمنى ويقيم
الصلاة في اذنه اليسرى
“Berkata
sekelompok ulama dari sahahabat-sahabat kami ( ulama Syafi’iyyah), disukai
untuk diazani di telinga kanan dan diiqamahi di telinga kiri bayi yang baru
dilahirkan.”[18]
Diterangkan
dalam kitab-kitab Fikih Madzhab asy-Syafi’i :
وَيُشْرَعُ الْأَذَانُ فِي أُذُنِ الْمَوْلُودِ الْيُمْنَى
وَالْإِقَامَةُ فِي الْيُسْرَى
“Disyari’atkan
azan di telinga kanan bayi yang baru dilahirkan dan diiqamati di telinga
sebelah kiri.”[19]
11. Pendapat Imam
asy-Syirazi, ulama ternama Mazhab Syafi’i
Imam
asy-Syirazi dalam kitabnya al-Muhadzab berkata
:
ويستحب لمن ولد له ولد أن يؤذن في أذنه
“Disunnahkan
bagi orang yang baru kelahiran anak untuk mengazani di telinga bayi
tersebut.”[20]
Dalam
kitab Kifayat al-Akhyar,
pernyataan senada dapat kita temukan :
ويستحب أن يؤذن في أذنه اليمنى ويقيم في اليسرى )كفاية الأخيار
في حل غاية الإختصار
“Disunnahkan
untuk diazani di telinga kanannya dan diiqamati disebelah telinga krinya.”[21]
Pernyataan
senada juga dapat ditemukan dalam kitab al-Iqna jilid 2 halaman 246, Fathul
Wahhab jilid 2 halaman 331, Asna al-Mathalib jilid 7 halaman 46, Syarh
al-Bahjah al-Wardiyah jilid 19 halaman 172, Hasyiyah al-Jumal jilid
22 halaman 225 dan Hasyiyah al-Bujairmi 'ala al-Manhaj jilid 16 halaman
65.
Begitu juga
dalam kitab Mathlab
Aula an-Nahy fi Syarh Ghayat al-Muntaha disebutkan :
( وَسُنَّ أَذَانٌ
فِي يُمْنَى أُذُنَيْ مَوْلُودٍ ) ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى ( حِينَ يُولَدُ ،
وَإِقَامَةٌ بِيُسْرَاهُمَا )
“[Disunnahkan
azan di telinga kanan bayi] baik laki-laki maupun perempuan [ketika baru
dilahirkan, dan diiqamati di telinga kiri keduanya].”[22]
Abdurrahman
al-Jazairi, dalam Kitab
al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah (Fikih Empat Mazhab) hlm.170. juga menyunnahkan azan bayi di telinga
kanannya dan iqamah di telinga kirinya.[23]
Sungguh masih
sangat banyak para ulama yang menyatakan bahwa azan bagi bayi yang baru lahir
adalah sunnah, dan ini merupakan pendapat Jumur Ulama (mayoritas ulama islam).
PENDAPAT YANG TIDAK MEMBOLEHKAN
Umumnya semua
pendapat yang tidak membenarkan azan di telinga bayi kalau kita runut kembali
kepada satu tokoh, yaitu Nashiruddin Al-Albani, sebagaimana yang tertunang
dalam kitab Silsilah dan Irwa' al-Ghalil.
Perlu
diingatkan di sini bahwa, Syaikh Nashiruddin Al-Albani bukanlah seorang ulama
Syariah (Fikih). Kemampuannya dalam bidang fikih diragukan oleh banyak ulama,
bahkan oleh tokoh ulama Salafi Wahabi sendiri, Syaikh Ibnu Utsaimin (Ulama
Salafi Wahabi nomor dua setela Bin Baz). Bahkan ilmu hadisnya agak sedikit
diperdebatkan di kalangan guru besar hadits masa kini. Tentu saja selalu ada
murid-muridnya yang selalu membela gurunya dan kebetulan beliau rajin menulis
buku. Terkait Nashiruddin Al-Albani, Syaikh Ibnu Utsaimin berkata:
ثم يأتي رجل في هذا العصر، ليس عنده من العلم شيء، ويقول: أذان
الجمعة الأول بدعة، لأنه ليس معروفاً على عهد الرسول صلي الله عليه وسلم، ويجب أن
نقتصر على الأذان الثاني فقط ! فنقول له: إن سنة عثمان رضي الله عنه سنة متبعة إذا
لم تخالف سنة رسول الله صلي الله عليه وسلم، ولم يقم أحد من الصحابة الذين هم أعلم
منك وأغير على دين الله بمعارضته، وهو من الخلفاء الراشدين المهديين، الذين أمر
رسول الله صلي الله عليه وسلم باتباعهم."
“Ada seorang laki-laki dewasa ini yang tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali mengatakan, bahwa azan Jum'at yang pertama adalah bid’ah,
karena tidak dikenal pada masa Rasul , dan kita harus membatasi pada azan kedua
saja! Kita katakan pada laki-laki tersebut: sesungguhnya sunahnya Utsman R.A
adalah sunah yang harus diikuti apabila tidak menyalahi sunah Rasul s.a.w. dan
tidak ditentang oleh seorangpun dari kalangan sahabat yang lebih mengetahui
dan lebih ghirah (cinta) terhadap agama Allah dari pada kamu (al-Albani). Beliau (Utsman r.a.) termasuk Khulafaur Rasyidin yang memperoleh
pentunjuk, dan diperintahkan oleh Rasullah SAW untuk diikuti”. Lihat:
al-‘Utsaimin, Syarh al-’Aqidah al- Wasîthiyyah, Dar al-Tsurayya, Riyadh-Saudi
Arabia 2003, hal 638.
Pernyataan al-‘Utsamin yang menilai al-Albani, “tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali”, menunjukkan bahwa al-Albani adalah bukanlah seorang yang ahli dalam bidang ilmu hadis, apalagi ahli Fikih, bahkan bukan dari golongan ulama yang alim! Golongan Wahabi sendiri menetapkan hal itu.
Pernyataan al-‘Utsamin yang menilai al-Albani, “tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali”, menunjukkan bahwa al-Albani adalah bukanlah seorang yang ahli dalam bidang ilmu hadis, apalagi ahli Fikih, bahkan bukan dari golongan ulama yang alim! Golongan Wahabi sendiri menetapkan hal itu.
Kebetulan pula
oleh para murid dan pembelanya, tulisan-tulisannya banyak diupload di internet
dan memenuhi mesin pencari Google. Sehingga kalau ada orang awam yang tidak
mengerti syariah mencari dengan Google, tulisan-tulisan yang membela pendapat
Al-Albani terasa lebih dominan.[24]
Dalil
– Dalil Ulama yang Menyunnahkan:
Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi,
Ahmad, Hakim dan Baihaqi yang berbunyi :
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا
يَحْيَى عَنْ سُفْيَانَ قَالَ حَدَّثَنِي عَاصِمُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ
عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ
حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ ( سنن أبي داود – (13 / 305 )
“Bercerita kepada kami Musaddad, bercerita kepada
kami Yahya dari Sufyan ia berkata, ‘ bercerita kepadaku ‘Ashim bin
‘Ubaidillah dari ‘Ubaidullah bin Abi Rafi’ dari ayahnya ia berkata, “ Aku
melihat Rasulullah SAW mengazani di telinga Hasan bin ‘Ali ketika ia dilahirkan
Fathimah dengan azan shalat”. (Sunan Abu
Dawud, jilid 13, halaman 305)
Imam
at-Tirmidzi menghukumi hadis tersebut sebagai hadis hasan shahih.[25]
Pernyataan Imam at-Tirmidzi ini diamini oleh Imam an-Nawawi dalam kitab beliau
al-Adzkar.[26]
Bahkan Syaikh Nashirudin al-Albani sendiri di beberapa tempat dari bukunya
mengatakan hadis tersebut bernilai Hasan
(baik).[27] Namun dia
berubah pikiran dalam menentukan hukum azan bagi bayi yang baru dilahirkan.
Hadis di atas juga dikuatkan dengan hadis-hadis lain yang cukup banyak,
seperti:
Dari Abi Rofi’
berkata dia, “Aku pernah melihat Nabi melakukan adzan pada telinga Al Hasan dan
Al Husain radhiyallahu ‘anhuma.” (HR. Thabarani).
“Barangsiapa yang kelahiran seorang
anak, lalu anaknya diadzankan pada telinganya yang sebelah kanan serta di
iqomatkan pada telinga yang kiri, niscaya tidaklah anak tersebut diganggu oleh Ummu
Shibyan (HR. Ibnu Sunni, Imam Haitsami menuliskan riwayat ini pada Majmu’
Az Zawaid, jilid 4,halaman 59). Menurut pensyarah hadis, Ummu Shibyan
adalah jin wanita yang selalu mengganggu dan mengikuti anak-anak bayi. Di
Indonesia terkenal dengan sebutan kuntilanak atau kolong wewe.
ULAMA
SYARIAH/FIKIH SANGAT MENGERTI HADIS
Banyak orang keliru dalam memahami posisi antara
ulama Fikih dan ulama Hadis. Mereka memandang Imam Bukhari (wafat 256
Hijriyah/870 Masehi) dan Imam Muslim (wafat 261 Hijriyah/875 Masehi) –keduanya
ulama hadis– lebih mumpuni daripada para ulama Fikih. Bahkan menganggap ulama
Fikih tidak mengerti hadis, serta banyak orang menyangka Imam Bukhari hidup
lebih awal dari para imam mazhab, padahal sebaliknya, para imam mazhab justru
hidup lebih awal dari para imam hadis.
Kalau kita mau tahu siapakah ulama hadis yang paling
tinggi derajat keilmuannya, ternyata bukan Bukhari atau Muslim, melainkan para
ulama mazhab, yaitu al-Imam Abu
Hanifah, al-Imam Malik, al-Imam Asy-Syafi'i dan al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahumullah. Ulama-ulama mazhab
ini selain ahli fikih, mereka sangat mumpuni dalam ilmu hadis.
Kenapa mereka lebih tinggi derajat keilmuannya dari
Bukhari dan Muslim? Jawabannya, karena ilmu yang mereka miliki bukan sebatas
mengetahui apakah suatu hadits itu shahih atau tidak. Tetapi lebih jauh dari
itu, mereka faham betul ilmu dirayah dan riwayah hadis. Mereka juga menyusun
kaidah dan ketentuan, kapan suatu hadits bisa diterapkan untuk satu kasus dan
kapan tidak bisa diterapkan. Dan tolok ukurnya bukan semata keshahihan, tetapi
ada lusinan pertimbangan lainnya. Maka para fuqaha dan mujtahid itu lebih
tinggi dan lebih luas ilmunya dari sekedar menjadi ulama hadis atau muhaddits.
Para ulama Mazhab Syafi’i berdasarkan apa yang
mereka pahami dari al-Qur’an dan Hadis Shahih memandang bahwa, azan selain
berfungsi untuk memanggil orang-orang untuk shalat berjamaah, azan juga
dikumandangkan untuk konteks di luar shalat, seperti: ketika ada bencana alam
semisal angin taufan, gempa, tsunami dan kebakaran, binatang buas, orang
kesurupan/kemasukan jin, sebab mereka adalah makhluk Allah yang juga takut
dengan kalimat thayyibah, begitu juga bagi orang yang akan naik haji dan
jenazah yang akan dikebumikan.
Dalam kitab Fathul Mu’in itu disebutkan,
”Dan telah disunnatkan
juga adzan untuk selain keperluan memanggil sholat, beradzan pada telinga orang
yang sedang
berduka cita, orang yang ayan (sakit sawan), orang yang sedang marah, orang
yang jahat akhlaknya, dan binatang yang liar atau buas, saat ketika terjadi
kebakaran, saat ketika jin-jin memperlihatkan rupanya yakni bergolaknya
kejahatan jin, dan adzan serta iqomat pada telinga anak yang baru lahir, dan
saat orang musafir memulai perjalanan.”[28]
Hal serupa
telah dialami penulis ketika masih kecil, di kampung halamannya pada tahun
80-an, saat petir sambar-menyambar diiringi suara gluduk yang saling sahut
menyahut. Di kejauhan sana nampak angin putih mirip Torpedo (namun dengan
ukuran lebih kecil) sedang berjalan menuju kampung kami. Ketika kami menyadari
akan hal itu, orangtua kami mengumandangkan azan, dan alhamdulillah
angin mirip torpedo itu yang semula berjalan tegak lurus menjulang tinggi, lalu
berubah berjalan miring dan tidak mendekati kampung kami, sehingga tidak ada
korban. Alhamdulillah... Wallahu a’lam. ( sumber: http://syaikh-idahram.blogspot.com/ )
[2] Lihat: al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, jilid 4, hal. 288. Wahbah az-Zuhaily
dilahirkan di desa Dir Athiyah, daerah Qalmun, Damsyiq, Syria pada 6 Maret 1932
M/1351 H. Selama belajar di Mesir, beliau berguru pada Muhammad Abu
Zahrah, (w. 1395H), Mahmud Shaltut (w. 1963M) Abdul Rahman Taj, Isa Manun
(1376H), Ali Muhammad Khafif (w. 1978M), Jad al-Rabb Ramadhan (w.1994M), Abdul
Ghani Abdul Khaliq (w.1983M) dan Muhammad Hafiz Ghanim. Penulis sempat
mengikuti studium general sekali ketika
diundang ceramah di Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga pada tahun (kalau tidak
salah) 2001. Wahbah al-Zuhaily menulis buku, kertas kerja dan artikel dalam
berbagai ilmu Islam. Buku-bukunya melebihi 133 buah buku dan jika dicampur
dengan risalah-risalah kecil melebihi lebih 500 makalah.
[3] Pendapat Ulama Syafi’i dapat dilihat
dalam Asna al-Mathalib : 7/46.
Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ : 8/443, Tuhfatul Muhtaj Syarh Al-Minhaj : 41/206, dll.
[4] Pendapat ulama Hanbali dapat dilihat dalam
kitab Mathlab Aulan Nahyi Fi Syarhi Ghayah
Al-Muntaha : 6/455. Juga lihat Kassyaful Qina’ an Matan al-Iqna’ :7/469.
[5] Nihayatul Muhtaj jilid 3 hal. 133
[6] Mushannaf Abdurrazzaq, jilid 4 hal. 336.
Lihat juga: Nail al-Authar, jilid 8, hal.
164.
[7] Lihat: al-fath ar-Robbani jilid 13 hal. 135
[8] Asy Syaikh Muwaffaquddin Abu Muhammad Abdullah
Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Qudamah al-Hanbali al-Maqdisi. Beliau berhijrah ke
lereng bukit Ash-Shaliya, Damaskus, dan dibubuhkanlah namanya ad-Damsyiqi
ash-Shalihi, nisbah kepada kedua daerah itu. Dilahirkan pada bulan Sya’ban 541
H di desa Jamma’il, salah satu daerah bawahan Nabulsi, dekat Baitil
Maqdis,tanah suci di Palestina.
[9] Pernyataan ini dapat ditemukan lagi
dalam Syarh al-Kabir karya Ibnu
Qudamah : 3/590.
[10] Ibnu Qudamah, jilid 11 hal, 120
[11] Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul maudud bi
ahkamil maulud, hal. 22.
[13] http://www.binbaz.org.sa/mat/9646
[14] Ibnu Utsaimin: Majmu Fatawa wa Rasa`il
asy-Syaikh al-Utsaimin 25/245, lihat:
http://madrasato-mohammed.com/fatawaa_lajna_wa_imameen_02/pg_003_0136.htm.
Redaksi asli perkataan Syaikh Ibnu Utsaimin dengan gaya khas logatnya seperti
ini: هُوَ الْوَارِدُ فِي السُّنَّةِ لَكِنْ
أَحَادِيْثَ اْلإِقَامَةِ ضَعِيْفَةٌ. أَمَّا لداهم اللِّيْ أَقْوَي . فَلِهَذَا
نَقُوْلُ يُؤَذِّنُ فِيْ أُذُنِ اْليُمْنَي أَوَّلَ مَا يُوْلِدُ. وَالْغَايَةُ
غَايَةُ النَّفْيِ اْلآنَ، أَنَّهٌمْ لاَ يُمَكِّنُوْنَ مِنْ هَذَا، لأن الأولاد
تولدون في المستشفي. أول ما يولد يؤذن في أذن اليمني ولكن لا بصوت مرتفع لأنها
تأثر الأذن، بصوت منخفض. قال العلماء من أجل أن يكون أول ما يطرق السمعَ الأذان
والدعوة إلى الصلاة. Suara rekaman audio ini dapat diunduh di alamat
ini: ar.islamway.net/fatwa/3413/هل-من-السنة-الآذان-والإقامة-في-أذن-المولود
[15] As-Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah : 3/329. Kitab ini termasuk
salah satu kitab fiqh yang direkomendasikan oleh Dewan Syari’ah Pusat PKS dalam
bidang ibadah. Lihat Ittijah Fiqih Dewan Syari’ah Partai Keadilan
Sejahtera tertanggal 28 Juli 2005.
[16] Wahbah az-Zuhayli dilahirkan di desa Dir
Athiyah, daerah Qalmun, Damsyiq, Syria pada 6 Maret 1932 M/1351 H.
Bapaknya bernama Musthafa az-Zuhayli yang merupakan seorang yang terkenal dengan
keshalihan dan ketakwaannya serta hafidz al-Qur’an. Guru-gurunya selama di
Mesir, beliau berguru pada Muhammad Abu Zahrah, (w. 1395H), Mahmud Shaltut (w.
1963M) Abdul Rahman Taj, Isa Manun (1376H), Ali Muhammad Khafif (w. 1978M), Jad
al-Rabb Ramadhan (w.1994M), Abdul Ghani Abdul Khaliq (w.1983M) dan Muhammad
Hafiz Ghanim. Penulis sempat mengikuti studium general sekali ketika
diundang ceramah di Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga pada tahun (kalau tidak
salah) 2001. Wahbah al-Zuhayli menulis buku, kertas kerja dan artikel dalam
berbagai ilmu Islam. Buku-bukunya melebihi 133 buah buku dan jika dicampur
dengan risalah-risalah kecil melebihi lebih 500 makalah.
[23] Abdurrahman al-Jazairi, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Cet. II, (
Bairut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), hlm. 170.
[24] Ahmad Sarwat, Lc., M.A. lihat:
http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1410433219&title=apakah-mengadzankan-bayi-bid%27ah-dan-tidak-ada-dasarnya.htm
[25] Tuhfat al-Asyraf :
11/159.
[26] Raudhat al-Muhadditsin :
10/361.
[27] Periksa Sahih wa
Dha’if Sunan Abu Dawud : 11/105, dan Sahih wa Dha’if Sunan at-Tirmidzi : 4/14.
[28] Di antaranya lihat misalkan kitab: Fathul Muin
karya asy-Syaikh Zainuddin al-Malibari. Juga telah disyarahkan keterangannya dalamkitab I’anatut Thalibin oleh Syaikh Sayyid Abi Bakri Syatho’, jilid 2 halaman
268, cetakan Darul Fikri, Beirut.
aku pengen weruh idahram tak jewer cangkeme
BalasHapusMosok menyampaikan kebenaran kok mau dijewer ya???
BalasHapusKalau Mas Rifai gak setuju dengan azan iqamah utk bayi baru lahir, ya gak usah dilakukan. Tapi jangan terus membenci atau berperilaku buruk terhadap yang mengamalkan. Apalagi, yang mengamalkan juga punya dalil. Dan, ada ulama yang membenarkan. Lha, sampean ulama apa bukan?
اذا حكم الحاكم فاجتهد ثم اصاب فله اجران واذا حكم واجتهد فأخطأ فله اجر
BalasHapusYang artinya” jika seorang hakim membuat keputusan dengan berijtihad kemudian ijtihadnya benar , maka baginya dua pahala. Jika dia membuat keputusan dengan berijtihad dan ternyata ijtihadnya salah, maka baginya satu pahala. (HR.al-bukhori dan muslim )